MUSLIM KOSMOPOLITAN
(ANTARA FUNDAMENTALISME ISLAM DAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA)
Nama:
Alfian Hamdani
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.4. Batasan Masalah
1.5. Metodologi Penulisan
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Ideologi
2.2. Pengertian Fundamentalisme
2.3. Sejarah Munculnya Fundamentalisme Islam Di Indonesia
BAB III: PEMBAHASAN
3.1. Pancasila Sebagai Payung Bangsa
3.2. Islam: Nafas dan Kredo Gerak Kehidupan
3.3. Semangat Pancasila dan Islam dalam Bernegara
BAB IV: PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menjamurnya kata-kata kafir seolah menjadi isu krusial apalagi mengatasnamakan salah satu agama sebagai tolak ukur baiknya sikap dan tindakan seseorang. Pernyataan ini tidak lepas dari tindakan seseorang yang dinyatakan telah melenceng dari akidah sebagaimana telah tercantum dalam Al-Qur'an dan hadist. Seperti yang dinyatakan oleh D. Caputo bahwa esensi agama adalah cinta kasih yang menebar kebaikan dan kasih sayang dalam kaitannya dengan hablum minannas, hablum minallah dan hablum minalalam. Agama sudah menjamin masing-masing setiap orang untuk menjalankan dan memegang kepercayaannya sebagai pedoman hidup, termasuk agama Islam yang merupakan agama profetik yang salah satunya yaitu menjadikan setiap orang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia baik itu yang berbeda kepercayaannya. Meminjam perkataan Kuntowijoyo bahwa dalam pengertian profetik, Islam memberikan 3 konsep ilmu sosial yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Jadi jelas bahwa dalam hal ini Islam memberikan suatu konsep kehidupan yang harmonis dalam masalah sosial. Suatu sikap yang telah dinyatakan suatu golongan dalam melabeli seseorang sebagai kafir mengindikasikan adanya luka tersendiri bagi Islam yang sebenarnya sudah dinyatakan di atas sebagai agama yang profetik. Tidak lepas dari itu bahkan manuver-manuver yang dilakukan golongan tersebut dicap sebagai teroris oleh sebagian negara dan menjadi stigma negatif bagi masyarakat karena telah melakukan tindakan teror dan radikal, dari perusakan fasilitas umum sampai bom bunuh diri yang banyak memakan korban. Kelompok fundamentalisme yang melakukan tindakan terorisme menjadi polemik yang tak henti-hentinya dibahas dalam banyak perbincangan, banyak dari mereka yang menganggap kelompok fundamentalisme sebagai representasi dari tindak kekerasan dan teror yang dilakukan oleh umat Islam dalam memberantas agama lain yang tidak sefaham dengan mereka. Akibatnya, dunia menganggap mereka sebagai musuh bersama dan harus diberantas. Tindakan radikal dan teror yang dilakukan oleh kelompok ini tidak terlepas dari derasnya arus globalisasi yang bersifat materialistik sehingga berimplikasi pada respon mereka terhadap globalisasi untuk dilakukan semacam rekonstruksi tatanan dunia yang mereka idealkan.
Islam merupakan agama yang mengajarkan kasih sayang, melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, dalam Al-Qur'an Tuhan menyerukan bahwa Islam merupakan agama yang menghargai perbedaan seperti yang tercantum dalam surat al-Hujurat ayat 13:
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui. (Q.S al-Hujurat: 13)
Islam memberikan pengakuan kepada bangsa lain untuk saling mengenal dan menghargai tanpa tendesi apapun.
Pancasila sebagai ideologi negara menawarkan sebuah konsep integral dalam berbangsa dan bernegara. Dalam perubahan sosial yang dinamis pancasila masih relevan untuk diaktualisasikan dalam setiap deru napas kehidupan bangsa. Sebagai ideologi negara pancasila mampu mengatasi ketegangan perbedaan antar agama, suku, ras, dan budaya. Pancasila dan Islam merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pancasila sebagai ideologi mengatur kehidupan dalam artian materil sedangakan Islam sebagai agama mengatur kehidupan secara transenden. Jadi dalam pengertian ideologi dan agama mempunyai masing-masing peran dalam mengatur kehidupan yang duniawi dan ukhrawi.
1.2. Rumusan Masalah
- Pergolakan antara Islam dan Pancasila membawa kesan kepada penulis untuk menjelaskan dan mendeskripsikan relasi Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Dalam hal ini yang perlu dipertanyakan adalah:
- Bagaimana hubungan antara Islam dan Pancasila?
- Bagaimana munculnya kelompok fundamentalis dalam memenuhi konstelasi politik di Indonesia?
- Bagaimana Pancasila mempunyai nilai moral yang mampu membawa perubahan yang harmonis?
- Bagaimana Pancasila sebagai ideologi mampu mengatasi ketegangan konflik kepentingan kelompok terutama fundamentalisme agama?
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan ini untuk menambah dan memperdalam wawasan tentang topik pembahasan. Manfaat Penulisan terutama untuk memberikan sumbangsih pemikiran kepada pembaca yang terhormat.
1.4. Batasan Masalah
Pada penjelasan mengenai fundamentalisme Islam dan Pancasila dalam makalah ini, ditinjau secara ideologis harapannya kekaburan mengenai ideologi Islam yang mengarah ke eksklusivisme ini bisa ditemukan titik terangnya sehingga Pancasila dan Islam bisa disintesiskan sebagai nilai moral dan pandangan umum yang bercorak universal. Yang kedua antara dikotomi Islam dan Pancasila mempunyai nilai universal yang mampu diterima sebagai falsafah bangsa yang dinamis dan pluralis.
1.5. Metodologi Penulisan
Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis menggunakan studi literatur untuk menunjang teori dan permasalahan dalam topik pembahasan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Ideologi
Istilah ideologi pertama kali dikenalkan oleh Destutt De Tracy. Dia merupakan pemikir Perancis yang memposisikan ideologi vis a vis dengan gagasan teologis dan metafisika tradisional. Ideologi dalam pengertiannya bersifat positifistik yang tujuannya untuk menemukan kebenaran di luar otoritas agama. Ide-idenya ini terpengaruh oleh gagasan zaman pencerahan terutama Francis Bacon yang mencoba mensterilkan ilmu pengetahuan dari prasangka agama, kepentingan pribadi, dan kepercayaan mistik-metafisik dengan mengukuhkan metode ilmiah sebagai satu-satunya epistemologi yang sahih.
Secara umum, ideologi dapat didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan dan paradigma pengetahuan yang menyeluruh dan sistematis yang memberikan landasan interpretasi untuk bertindak. Dengan demikian, setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan tiga unsur: keyakinan, pengetahuan, tindakan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntutan-tuntutan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin, dan teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkret.
Ideologi merupakan seperangkat instrumen untuk mewujudkan cita-cita ideal dalam membangun sebuah tatanan sosial, ekonomi, dan budaya. Ideologi sebagai cita-cita memberikan nafas pergerakan yang dinamis dan visioner dalam setiap perubahan yang terus berubah, tak lepas dari itu ideologi mewarkan sebuah bentuk pemikiran radikal kepada masyarakat dalam mencapai cita-cita yang diidealkan. Seperti yang terjadi ketika komunisme di Cina yang dipimpin oleh Mao menjadi ideologi utama dalam membangun Republik Rakyat Cina. Konsep yang mereka tawarkan berorientasi pada pembangunan ekonomi kerakyatan dan meninggikan derajat para petani dan kelas bawah (proletar). Akan tetapi seiring kepemimpinan Mao dalam menjalankan otoritasnya, justru berbalik menyerang para petani. Ini mengiindikasikan adanya ketidaksesuaiaan dalam menjadikan ideologinya sebagai suatu konsep pembangunan negara yang ideal, artinya ideologi kadangkala bersifat paradoks dalam mengidealisasikan apa yang disebut cita-cita luhur.
Timbulnya ketegangan sosial antara kelas inferior dan superior menjadikan perjuangan ideologi sebagai sebuah ambisi besar untuk mencapai tujuan politis sebuah kelompok. Seperti yang diungkapkan oleh Andrew Heywood bahwa ide-ide dalam artian politis dibentuk oleh situasi sosial dan sejarah, yang di dalamnya mengembangkan dan dikembangkan oleh ambisi-ambisi politik yang melayaninya. Seperangkat ide tersebut membawa subjek pada sistem pemikiran yang terstruktur dalam mewujudkan tindakan politisnya menguasai dan melayani negara. Akhirnya ideologi menjadikan dirinya untuk seefektif mungkin mencapai tujuannya atas kontrol sosial penuh yang dengan itu mampu membawa perubahan sesuai konstruk pemikirannya karena watak dasar ideologi bersifat menguasai dan menyeragamkan. Selanjutnya, bagaimana ideologi mempunyai nilai moral yang mampu membawa perubahan yang harmonis antar masyarakat tanpa adanya subordinasi antar kelompok.
Dengan ini perlu adanya suatu ideologi integral yang mampu merangkul seluruh paradigama pembangunan negara yang bersifat universalistis dan merepresentasikan suatu perubahan yang dinamis dan mampu mengatasi segala ketegangan perubahan ekonimi-sosial yang terus berubah. Meskipun sejarah ideologi mempunyai luka mendalam dalam mengatasi perubahan sosial dan membangun tatanan masyarakat yang ideal, perlu adanya sebuah koreksi untuk menjadikan ideologi menjadi benar-benar cita-cita luhur bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep ideologi mempunyai beberapa fungsi yang menurut Soerjanto Poespowardojo ideologi memiliki 6 fungsi, yaitu:
- Struktur kognitif, ialah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam sekitarnya.
- Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
- Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak.
- Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
- Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
- Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya.
Lebih dari itu ideologi memberikan sumbangan penting terhadap dinamika perubahan sosial yang revolusioner, merubah pondasi masyarakat yang statis menjadi dinamis dan apatis menjadi reaktif. Meskipun secara praksis ideologi memicu terjadinya konflik, tetapi secara gradual ideologi mengantarkan manusia pada tingkat kesadaran kolektif menuju tatanan masyarakat yang dicita-citakan yakni harmonis dan pluralis.
2.2. Pengertian Fundamentalisme
Istilah fundamentalisme, dalam pandangan Martin van Bruinessen, mengimplikasikan atau peneguhan kembali atas kebenaran kepercayaan sebagaimana ada dalam kitab suci Bibel, yang kembali ditegakkan dalam rangka mengahdapi serangan gencar ilmu pengetahuan sekuler, terutama dalam menghadapi teori evolusi Darwin.
Esposito merupakan salah satu kalangan sarjana barat yang mengemukakan bahwa istilah fundamentalisme setidaknya digunakan dalam tiga pengertian. Pertama, mereka yang berusaha menyerukan panggilan untuk kembali pada kepercayaan dasar atau pondasi agama bisa disebut kelompok fundamentalis. Dalam konteks masyarakat Islam, usaha kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul adalah sebuah model hidup yang normatif. Kedua, pemahaman dan persepsi tentang fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh tradisi Protestanisme Amerika. Fundamentalisme adalah gerakan Protestanisme abad ke-20 yang menekankan penafsiran Injil secara literal sebagai sesuatu yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen. Ketiga, istilah fundamentalisme sering kali dikaitkan dengan aktivitas politik, ekstrimisme, fanatisme terorisme, dan anti-Amerikanisme. Oleh karena itu, istilah tersebut oleh Esposito dianggap terlalu bermuatan presuposisi kristen dan stereotip Barat, serta mengisyaratkan ancaman monolitik yang tidak eksis.
Oleh kalangan ilmuwan sosial dan keagamaan, istilah fundamentalisme yang berkembang dalam dasawarsa pertengahan hingga akhir abad ke-20 telah sangat lazim dihubungkan dengan fenomena yang berdimensi politik. Istilah fundamentalisme yang hampir selalu muncul diiringi dengan kosa kata seperti radikalisme, ekstrimisme, dan bahkan anarkisme, telah menjadi suatu kategori pengetahuan tertentu untuk membedakannya dengan arus-arus kebudayaan dan keagamaan lain yang rasional dan moderat.
R M Burel mengaitkan pengertian fundamentalisme dengan pengertian yang disebutnya bersifat utopia atau khayal, yang mengacu pada semacam standard penyempurnaan yang bisa dipahami oleh manusia bahkan mungkin dapat dicapai di atas bumi. Inspirasi fundamentalisme berangkat dari pandangan masa lalu yang terlalu diidealisasi, bertujuan untuk mewujudkan kembali "zaman keemasan" sebagaimana dialami di masa lalu.
Maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi yang menggurita adalah bukti nyata dari kegagalan itu. Dalam dunia Islam, munculnya fundamentalisme disebabkan kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai telah menyudutkan umat Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk "menghibur diri" dalam sebuah dunia yang belum tercemar. Teori lain mengatakan bahwa membesarnya golongan fundamentalisme di berbagai negara Muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara-saudaranya di Palestina, Kashmir, Afghanistan, dan Iraq.
2.3. Sejarah Munculnya Fundamentalisme Islam di Indonesia
Dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya heterogen dan terkesan rawan konflik karena bisa jadi setiap kelompok maupun golongan saling beradu kekuatan dan gagasan yang cenderung bersifat politis. Dalam masyarakat yang memiliki perbedaan, khususnya yang dibahas dalama konteks ideologi memiliki kepentingan masing-masing dalam mewujudkan cita-citanya dalam berbangsa maupun berbangsa. Adanya subordinasi antar kelompok saling menimbulkan ketegangan dalam membangun tatanan sosial yang diidealkan. Maraknya isu Islamisme sendiri menimbulkan polemik bagi negara khususnya dalam masalah agama, akibatnya mereka (kelompok separatis) mencoba membuat kegaduhan yang mengatasnamakan agama Islam sebagai agama superior yang berhak menghegemoni dunia menurut cita-cita mereka, dengan mencap kelompok mereka sebagai wakil Tuhan yang otentik, dengan itu mampu mengatasi segala permasalahan sosial dan ekonomi. Konsep yang mereka tawarkan dengan jargon khilfah dianggap sebagai solusi tunggal dalam membangun wajah dunia yang adil dan majemuk.
Dapat dilihat ke belakang bahwa spektrum gerakan radikal (fundamentalisme) Islam di Indonesia memiliki akar sejarah panjang. Pada era setelah kemerdekaan yang pernah terwujud dalam bentuk gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII), yang melakukan pemberontakan di beberapa tempat di indonesia sejak tahun 1950-an hingga pertengahan tahun 1960-an. Sebagaimana dipaparkan Dijk, pengaruh gerakan Darul Islam yang dideklarasikan Kartosuwirjo pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat dengan cepat menyebar hingga ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, hingga Aceh.
Fundamentalisme Islam atau yang lebih dikenal dengan pemurnian Islam pada zaman dulu, telah menginvasi Indonesia dan mengubah wajah Indonesia menjadi semacam perang ideologi, diantara gerakan tersebut ada,
Ikhwanul Muslimin, didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir pada tahun 1928, hadir di Indonesia pada awalnya melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi Gerakan Tarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Hizbut Tahrir Indonesia, didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani pada tahun 1952 di Jerusalem Timur yang dikuasai Yordania
Wahabi, hadir di Jazirah Arab pada abad ke-18 yang merupakan sebuah sekte keras dan kaku pengikut Muhammad ibn 'Abdul Wahab. Ayahnya, 'Abdul Wahab adalah hakim 'Uyaynah pengikut madzab Ahmad ibn Hanbal. Kehadiran Wahabi di Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dengan dukungan dana besar dari Jama'ah Salafi (Wahabi). DDII mengirimkan mahasiswa untuk belajar ke Timur Tengah, sebagian dari mereka inilah yang kemudian menjadi agen-agen penyebaran ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Belakangan, dengan dukungan penuh dana Wahabi-Saudi pula, DDII mendirikan LIPIA dan kebanyakan alumninya kemudian menjadi agen Gerakan Tarbiyah dan Jama'ah Salafi di Indonesia.
Tiga organisasi yang secara khusus mendapat dukungan signifikan dari Arab Saudi akhir-akhir ini adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jamaah Islam wa al-Irsyad (JII) dan Persis.
Menjelang runtuhnya Orde Baru, Indonesia menyaksikan begitu banyak kelompok garis keras lokal. Beberapa diantara kelompok ini antara lain Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), PKS, Komite Penerapan Syari'ah Islam (KPPSI). Disinyalir bahwa Gerakan Islam fundamental yang beraliran Wahabi dimulai dari Gerakan Padri. Berawal dari perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif dengan Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke-19, ketika itu Makkah dan Madinah dikuasai Wahabi. Terpesona oleh gerakan Wahabi, sekembalinya ke Nusantara (Indonesia) Haji Miskin berusaha melakukan gerakan pemurnian sebagaimana dilakukan Wahabi, yang juga didukung oleh haji yang lain. Pemikiran dan gerakan mereka setali tiga uang dengan Wahabi. Aksi-aksi yang mereka lakukan mulai dari memvonis tarekat Syattariyah dan tasawuf secara umum sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi, di dalamnya banyak takhayul, bid'ah, dan khurafat yang harus diluruskan dan kalau perlu diperangi, maraknya saling mengkafirkan, adanya kewajiban memelihara jenggot dan didenda bagi yang mencukurnya, larangan memotong gigi, larangan bagi laki-laki yang lututnya terbuka, bagi perempuan menutup sekujur tubuhnya kecuali mata dan tangan, hukuman mati bagi yang meninggalkan sholat fardhu untuk ke dua kalinya, melegalkan perbudakan, penyerangan terhadap istana Pagaruyung tahun 1809, pembunuhan keluarga kerajaan, pembantaian massal anggota keluarga raja dan para pembantunya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pancasila Sebagai Payung Bangsa
Ideologi sebagai sebuah pemikiran dan pandangan hidup negara dalam mencapai cita-cita bangsa yang bedaulat khususnya dalam konteks Indonesia, Pancasila merupakan ideologi yang sudah final karena Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan konsensus bersama yang lahir di tengah-tengah pergolakan ideologi lain yang telah membawa kehancuran. Pada saat terjadinya perang dunia II, ketika itu tiga ideologi besar terbukti tidak membawa kedamaian, baik itu antara sosialisme-komunisme dengan kapitalisme atau sosialisme dengan fasisme. Revolusi industri yang kala itu meledak tak lepas dari intervensi kaum kapitalis dengan memanfaatkan ilmuwan aliran positivis yang mendalangi terciptanya mesin-mesin mutakhir yang selanjutnya menggantikan tenaga manusia, implikasinya yakni menimbulkan aksi para buruh yang dominan beraliran anarkisme dan marxisme menolak hal itu dan menimbulkan konflik antara sosialisme-komunisme dan kapitalisme.
Pancasila sebagai ideologi sesungguhnya telah memiliki landasan keyakinan normatif dan preskriptif yang jelas dan visioner. Pokok-pokok moralitas dalam haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai berikut:
Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang memisahkan agama dan negara serta berpretensi menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut alam Pancasila diharapkan dapat melindungi dann mengembangkan kehidupan beragama, sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial.
Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas, yang mengarah pada persaudaraan dunia, dikembangkan melalui jalur ekternalisasi dan internalisasi. Ke luar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimiliki untuk secara bebas-aktif "ikut melaksanakan ketertiban dunia yany berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri.
Ketiga, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkaran pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan "bhinneka tunggal ika".
Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka "musyawarah mufakat".
Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu-yang terlembaga dalam pasar-dan peran manusia sebagai makhluk sosial-yang terlembaga dalam negara-juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Pancasila sebagai bentuk nilai dasar negara dikristalisasi oleh Soekarno dengan perkataan gotong royong. Yang dengan cara itulah bangsa Indonesia bisa mewujudkan kemerdekaannya dengan perjuangan bersama. Jadi Pancasila tidak berhak dimonopoli oleh kepentingan golongan, akan tetapi diimplementasikan dalam bentuk kerjasama yang nyata membangun negara dan dengan cara mufakat tanpa adanya dikotomi kelas, antara kapitalisme dan sosialisme juga politik identitas yang mengganggu stabilitas negara dengan mementingkan golongan sendiri dan memecah belah rasa persatuan dan kesatuan.
Aktualisasi Pancasila sebagai falsafah negara harus memenuhi dalam kriteria pandangan hidup bukan hanya sebagai falsafah negara. Pandangan hidup yang berupa tindakan kongkret, artinya Pancasila sebagai ideologi negara bukan dipandang sebagai yang tekstual akan tetapi secara kontekstual melegitimasikan nilai normatifnya sebagai nilai praksis yang mampu menunjukkan kapasitasnya sebagai ideologi yang integral.
Dalam konsep pandangan hidup (Weltanschauung), bahwa nilai-nilai pandangan/pendirian hidup yang digali dari berbagai kearifan suku bangsa, keagamaan, dan nilai-nilai kemanusiaan dipandang sebagai bantalan Weltanschauung berbagai suku bangsa dan golongan di negeri ini tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi mengandung kesatuan dan koherensi yang bisa menjadi dasar dan haluan bersama, maka Weltanschauung tersebut perlu dirumuskan secara sistemik dan rasional, menjadi Weltanschauung ilmiah (scientific worldview), yang sebangun dengan filsafat (Philosophische Grondslag). Selanjutnya, Pancasila sebagai scientific worldview itu menjadi ideologi negara.
3.2. Islam: Nafas dan Kredo Gerak Kehidupan
Sikap pasrah merupakan dasar dari agama Islam yang ditujukan atas ridla-Nya. Agama yang benar menegaskan bahwa hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya itu amat pribadi, baik dalam urusan pertobatan maupun pertanggungjawaban atas amal perbuatannya.Kecondongan manusia untuk mengarahkan diri kepada Pemberi hidup merupakan suatu nuktah yang menyatu dengan hakikat dasar manusia. Kecondongan itu terwujudkan dalam iman. Maka iman itu, dalam tinjauan manusiawinya adalah suatu bentuk mendasar pengertian manusia akan dirinya sendiri dan citra kreatif tentang diri sendiri itu. Dengan iman manusia tidak akan kehilangan pusat makna hidupnya, dan dengan iman pula manusia memperoleh keutuhan dirinya. Dengan iman manusia meningkatkan nilai individualitasnya melalui penajaman rasa tanggungjawab pribadi dan peningkatannya. Kemudian dengan rasa tanggungjawab yang tajam dan tinggi itu ia mewujudkan tugasnya memikul beban suci kehidupan bersama dalam silaturrahmi antara sesamanya.
Misi Islam yaitu memberikan salam, sehingga budaya Islam mempunyai karakteristik yang sangat khas, yaitu menggali seluruh potensi dunia, merangkai pengalaman masa lalu untuk melahirkan sebuah karya budaya yang memberikan nilai-nilai kesejahteraan, kedamaian bagi umat manusia dan alam. Itulah sebabnya, berulang kali kita sebutkan misi Islam yaitu untuk menyebarkan rahmat dan menempatkan diri sebagai lampu yang berbinar. Dalam hal meneguhkan nilai-nilai, cara mempersepsi dan bertindak sebagai dasar sebuah budaya harus dimulai dari sifat terbuka (open minded). Sehingga setiap pribadi muslim memiliki wawasan yang bersifat mondial dan universal.
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui. (Q.S al-Hujurat: 13)
Ayat tersebut memberi isyarat pemahaman bahwa setiap pribadi muslim adalah tipikal manusia yang memiliki wawasan universal. Mereka mampu berempati, mampu memahami keberadaan orang lain di luar dirinya dengan berbagai keberagaman budayanya. Mereka berpikir melewati batas-batas budayanya sendiri, sehingga tampak pada tipe seorang muslim yang berwawasan universal tersebut adalah sikapnya yang toleran dan menghargai pluralitas yang ada.
3.3. Semangat Pancasila dan Islam dalam Bernegara
Agama dan ideologi merupakan dua sisi mata uang yang saling berkait. Ideologi bisa disebut agama karena bisa memberikan jalan menuju yang-ideal bagi para penganutnya. Begitu juga sebaliknya, agama bukan saja sebagai proses spiritual semata tetapi juga memberikan gambaran yang-ideal dan mengatur kehidupan sosial, politik, maupun, budaya. Bagi Althuser ideologi sebenarnya bisa dijumpai dalam praktek kehidupan sehari-hari. Althuser menegaskan aktivitas-aktivitas ritual, upacara, adat, dan kebiasaan tertentu yang lazim kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari nyata-nyata memproduksi akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan kita pada suatu tatanan sosial yang mapan, sebuah tatanan yang ditandai oleh adanya kesenjangan status dan gap kekuasaan yang menonjol antara yang pusat dan peripheral, yang Maha dan yang hamba.
Ibn Taimiyah menegaskan: "Maka agama yang benar wajib punya Buku Petunjuk dan Pedang Penolong." Disini Ibn Taimiyah ingin menekankan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan oleh pedang menjadi sesuatu yang esensial dan mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama. Dengan ungkapan lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama; ia bukan suatu ekstensi dari agama.
Secara historis, kelima sila Pancasila merupakan perpaduan (sintesa) dari keragaman keyakinan, paham, dan harapan yang berkembang di negeri ini. Sila pertama merupakan rumusan sintesis dari segala aliran agama dan kepercayaan. Sila kedua merupakan rumusan sisntesis dari segala paham dan cita-cita sosial-kemanusiaan yang bersifat transnasional. Sila ketiga merupakan rumusan sintesis dari kebhinnekaan (aspirasi-identitas) kesukuan ke dalam kesatuan bangsa. Sila keempat merupakan rumusan sintesis dari segala paham mengenai kedaulatan. Sila kelima merupakan rumusan sintesis dari segala paham keadilan sosial-ekonomi. Pilar utama dari sila tersebut ditopang oleh trilogi ideologi arus utama: ideologi-ideologi berhaluan keagamaan, ideologi-ideologi berhaluan kebangsaan (nasionalisme), dan ideologi-ideologi berhaluan sosialiame. Ketiga haluan ideologis tersebut menemukan titik temu dalam tiga prinsip dasar: sosio-religius, sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi. Dalam konteks keindonesiaan, religiutas ditarik dalam nalar ontologis yaitu Bhineka Tunggal Ika (Pluralitas dalam unitas) yang berwatak eksistensi populatif (hubungan yang mengikat).
Dalam pembaruan isu sosial yang bersifat nasional, Anthony Giddens menawarkan apa yang disebutnya sebagai jalan ketiga, salah satunya yaitu konservatisme dan modernisas."Modernisasi dan konservatisme biasanya diperlakukan ssbagai dua hal yang bertentangan. Tetapi, kita harus menggunakan sarana modernitas untuk menghadapi kehidupan dalam dunia di luar tradisi dan di sisi lain dari alam, di mana terdapat kombinasi baru antara resiko dan tanggung jawab). Konservatisme dalam konteks ideologis memberikan suatu pemecahan masalah dengan tetap mengukuhkan Pancasila sebagai satu ideologi integral bangsa dan tetap memperhatikan aspek-aspek agama, budaya, dan sosial. Agama dijadikan sebagai prinsip moral individu untuk melakukan setiap tindakannya dalam berkehidupan. Dalam lingkup sosialnya individu tersebut mampu mentransformasikan setiap ajarannya sebagai penerang kehidupan bagi masyarakat. Dari segala pengetahuan yang sifatnya kontekstual maupun tekstual di luar agama, seorang muslim mengambil sisi positifnya sebagai ilmu yang diharapkan mampu memberikan pengetahuan yang seobyektif mungkin mengenai kondisi sosial sehingga pribadi muslim memiliki kemampuan berpikir luas, obyektif, dan kritis. Disinilah puncak pengetahuan pribadi muslim yang kosmopolitan dan diharapkan mampu survive dan challenge dalam mengahadapi era modernisasi atau globalisasi.
Dalam mengahadapi transisi zaman, sudut pandang yang masih tumpul menyebabkan perubahan bertahap dalam cara-cara berpikir menjadi tak dapat dipahami oleh para anggota kelompok yang hidup di dalam situasi yang stabil selama waktu adaptasi-adaptasi cara-cara berpikir terhadap permasalahan baru sedemikian lambat sehingga melampaui beberapa generasi. Dalam hal itu, satu generasi dan generasi yang sama dalam perjalanan hidupnya sendiri hampir tak dapat menyadari bahwa suatu perubahan sedang terjadi. Akhirnya pola pikir yang masih tradisional terkubur oleh perputaran zaman yang terlalu cepat sehingga apa yang disebut Fazlur Rahman sebagai miskin intelektual.
Dalam Indonesia sendiri, Pancasila merepresentasikan masyarakat Indonesia sebagai satu kesatuan masyarakat yang heterogen dan majemuk. Semangat persatuan dan kesatuan harus dipupuk oleh setiap individu dalam mengatasi paham golongan. Jadi kebenaran dalam penentuan keputusan harus bersifat universal yang disandarkan pada prinsip musyawarah. Pentingnya musyawarah sebagai konsep penyelesaian masalah yang adil akan tetapi harus dibarengi dengan mufakat. Bahwa musyawarah sebagai instrumen penting dalam arti penyelesaian masalah. Musyawarah disini memberikan konsensus bersama untuk menekankan sekecil mungkin kesalahan yang dibuat karena manusia adalah makhluk yang terbatas, tidak mengetahui secara pasti mana yang benar. Dalam Al-Qur'an dijelaskan pentingnya musyawarah, yang artinya:
Bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. (Q.S. Ali Imran 3: 159)
Akhirnya ideologi menjadi semacam senjata yang mampu mengikat umat islam dalam menjalin solidaritas yang terejewantahkan melalui gerakan keagamaan dan kultural.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Islam dan Pancasila memberikan penakanan khusus dalam hal kemanusiaan, penyelesaian masalah, dan wilayah privat (iman). Pancasila sebagai falsafah negara harus memberikan sebuah pandangan umum sehingga tafsir Pancasila mampu diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara. Islam sebagai agama memberikan tugas mulia bagi manusia menjadi khalifah Allah yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya terkait hubungan dengan Allah, hubungan dengan alam, dan hubungan dengan manusia. Perpaduan antara Pancasila dan Islam memberikan suatu kerangka berpikir yang luas, objektif, dan tetap kritis. Sehingga disebut sebagai pribadi Muslim yang kosmopolitan, akhirnya virus fundamsntalisme Islam mampu ditekan seminim mungkin. Yang paling penting Indonesia sebagai negara yang heterogen menanamkan sedini mungkin sifat egalitarian sebagai pribadi yang berwatak religius dan terutama survive dan challenge dalam mengahadapi arus modernitas.
4.2. Saran
Makalah ini tidak terlepas dari berbagai kesalahan bentuk penulisan, baik dari segi pengolahan redaksi kata atau minimnya literatur yang relevan. Semoga dari pembaca sebisa mungkin mampu memberikan kritik dan saran agar penulis lebih giat lagi dalam belajar dan mampu berpikir seobjektif mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Aksa. 2017. Gerakan Islam Transnasional: Sebuah Nomenklatur, Sejarah dan Pengaruhnya di Indonesia. YUPA: Historical Studies Journal, Tahun Pertama, Nomor 1.
Giddens, A. 1999. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hartanto, D. R. 2016. Mengkaji Relasi Agama dan Ideologi. Academic Journal of Islamic Studies. Vol.1 No.1. Dinika
Heywood, A. 2016. Ideologi Politik: Sebuah Pengantar. Edisi Ke-5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Latif, Y. 2015. Revolusi Pancasila. Jakarta: Mizan.
Maarif, A. S. 2017. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Edisi Baru: Cetakan Ke-1. Bandung: Mizan Pustaka.
Maarif, A. S. (ed). 2012. Menuju Persatuan Umat: Pandangan Intelektual Muslim Indonesia. Bandung: Mizan.
Madjid, N. 1999. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Cetakan Ke-4. Jakarta: Paramadina.
Mannheim, K. 1991. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Nuswantoro. 2001. Daniel Bell: Matinya Ideologi. Magelang: Yayasan IndonesiaTera.
Mubarak, M. Z. 2007. Genealogi Islam Radikal Di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Wahid, A. (ed). 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika-The Wahid Institute-The Maarif Institute.