TUMPAS CORONA BUTUH KEKUATAN BERSAMA

 TUMPAS CORONA BUTUH KEKUATAN BERSAMA

 


Wabah COVID-19 menjadi permasalahan global saat ini. WHO (World Health Organization) menetapkan bahwa Coronavirus Disease (COVID-19) sebagai pandemi yang menyerang manusia berskala global. Siapa yang menyangka makhluk sekecil virus corona mampu mengacaukan kondisi global saat ini sehingga berdampak pada krisis ekonomi, perubahan kondisi politik global dan nasional, hingga kasus kematian massal. Dari laporan WHO, ternyata virus tersebut mampu menyebar dengan cepat, penyebarannya pun dinilai dimulai dari kontak kecil, misalnya berjabat tangan. Data menunjukkan kasus terkonfirmasi mengalami tren peningkatan setiap bulannya. Tren peningkatan ini menunjukkan kasus penyebaran virus yang luar biasa cepat yang sudah memakan korban jutaan. Dari permasalahan tersebut, kita tidak bisa hanya melihat dari satu kacamata saja misalnya dari sisi medis, perlu juga dilihat dari berbagai sudut pandang.

Refleksi Bersama

Kasus pandemi ini tidak bisa dianggap remeh, terbukti dalam jangka waktu kurang lebih 5 bulan, kasus ini menunjukkan tren peningkatan kasus kematian yang serius. Berkaca dari negara Italia yang menganggap kasus ini sebagai permasalahan biasa, yang dengan ujung-ujungnya memakan korban yang luar biasa. Dari total kasus terkonfirmasi di Italia, ternyata memakan separuh dari populasi penduduk Italia. Kasus tersebut menunjukkan kelalaian pemerintah sekaligus masyarakat yang menganggap pandemi ini sebagai kasus yang enteng, bukan hanya kelalaian tetapi keterbukaan informasi dan pemberian edukasi juga menjadi faktor sentral dalam menekan kasus penyebaran virus corona.

Indonesia sendiri sudah mengkonfirmasi kasus virus corona sebanyak ribuan pasien. Dalam jangka waktu kurang lebih satu bulan, jumlah kasus terkonfirmasi positif di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Dengan jumlah kematian yang tinggi pula, Indonesia dinilai lamban dalam menangani kasus ini. Sebelumnya WHO dan Uni Eropa pernah menuduh pemerintah Indonesia menutup-nutupi kasus pandemi ini, mereka juga mensinyalir pemerintah Indonesia belum siap dalam menangani kasus ini yang berimplikasi lamban dalam merespon pandemi global.

Pemerintah Indonesia akhir-akhir ini cenderung menggelontorkan anggaran belanja negara untuk pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, penanaman modal dan investasi asing. Mungkin itu hanya salah satu dari program prioritas pemerintah. Modal pembangunan manusia seperti kesehatan lebih menekankan pada mereduksi sistem dan tata kelola internal, bukan pelayanan optimal yang sifatnya sebagai investasi modal kehidupan masyarakat. Sebagai gantinya, fasilitasi kesehatan masyarakat cenderung abai karena ulah oknum-oknum yang memilih menguntungkan dirinya sendiri. Mahalnya biaya BPJS kesehatan dengan pelayanan yang kurang memuaskan dan perusahaan asuransi kesehatan yang problematis.

Hari ini kita bersama-sama merefkesikan diri sebagai sebuah bangsa yang besar. Di tengah pandemi global yang serius, masyarakat Indonesia khususnya negara Indonesia bersama-sama bercermin, langkah apa selanjutnya yang harus diambil oleh pemangku kebijakan sehingga dampak yang dihasilkan mampu mereduksi ketegangan-ketegangan yang tidak diduga dan lebih-lebih secara inklusif bersama-sama memberikan manfaat positif bagi pembangunan manusia yang lebih baik lagi.

Merangkai Jaring-jaring Sosial Menuju Integrasi Nasional

Di tengah pandemi global sekarang, bukan egosentrisme dan heroisme yang dipertontonkan. Fenomena saling kritik dan serang bukanlah solusi berkelanjutan, selain menimbulkan gap antar masyarakat, hal itu juga akan menimbulkan ketegangan dan sifat skeptis terhadap pemerintah. Bisa kita lihat bagaimana beberapa para pemangku kepentingan saling serang yang seolah menampakkan kapasitasnya dalam penanganan pandemi. Beberapa daerah juga misalnya, mengambil alternatif dengan melakukan lockdown. Ini yang kemudian, menjadikan persepsi bagi sebagian masyarakat bahwa keputusan yang diambil oleh pemerintah sifatnya bukan kolektif-integratif. Tidak dijalankan secara serentak dan diterapkan bersama. Apabila hal itu semakin mengkristal di benak masyarakat, justru akan menciptakan kegaduhan dan ketidakpatuhan masyarakat dalam penanganan pandemi ini secara bersama.

Di tengah kegaduhan dan kekhawatiran psikologis masyarakat saat ini, dibutuhkan suatu perekat yang mampu menyatukan gerakan bersama, bukan sifat egois dan herois yang cenderung saling klaim antar pihak atau golongan. Penanganan yang bersifat saling klaim dan cenderung politis akan menimbulkan kekacauan sosial, ibarat bom waktu yang malah akan menimbulkan puncak dari kekacauan bukan puncak dari penyelesaian.

Yang pertama kali penting untuk diketahui bersama adalah transparansi pemerintah terhadap keterbukaan informasi kasus penyebaran virus yang terjadi. Hal ini sangatlah penting mengingat informasi saat ini adalah sumber daya atau jalur pertama untuk membuka trust antara pemerintah dan masyarakat. Dengan mengakses informasi resmi dari pemerintah, masyarakat akan mengetahui bagaimana pemerintah akan mengatasi kasus ini, selain itu hal ini juga akan membangun kredibilitas antara pemerintah dan masyarakat sehingga informasi yang terdistribusi dengan akurat dan real time akan mudah diimplementasikan secara efektif dan bersama-sama. Bukan hanya itu, kecepatan dan konsistensi pemerintah dalam menyampaikan informasi juga tak kalah penting karena ketika muncul celah atau kekosongan pemerintah dalam menyampaikan informasi, maka celah itu akan diisi dengan hoaks yang dibuat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Menengok ke negara Korea Selatan, otoritas kesehatannya sangat transparan memberikan data lengkap perkembangan. Korea Center for Disease Control (KCDC) memberikan informasi perkembangan terbaru kasus COVID-19 dua kali dalam sehari langsung ke telepon genggam masyarakat Korea Selatan. Otoritas kesehatan di tingkat bawah pun juga menjelaskan tempat mana saja yang pernah dikunjungi pasien COVID-19 tanpa mengungkap identitas mereka. Sementara di negara tetangga, Singapura, pemerintahnya dengan sangat baik mengelola informasi. Informasi yang diberikan otoritas Singapura memungkinkan masyarakatnya untuk mengetahui klaster wilayah yang berisiko tinggi hingga riwayat kontak penularan, namun dengan tetap menjaga identitas pasien. Di Indonesia sendiri, beberapa wilayah sudah mulai memberikan informasi pasien-pasien yang terjangkit positif corona. Melalui radar GPS, masyarakat bisa mengakses untuk mengetahui daerah mana yang rentan atau terdapat pasien positif corona. Itulah yang kemudian akan menjadi model yang bisa diterapkan secara serentak di seluruh Indonesia untuk mengurangi akses penyebaran virus melalui smartphone mereka dan memutus jalur penularan dengan tidak atau jarang mengunjungi daerah yang rentan penularan. Hal di atas bisa dijadikan sebagai akses masyarakat untuk menerima informasi otentik dari pemerintah karena di masa pandemi ini, informasi-informasi seputar wabah rentan akan penyebaran hoax, jadi dengan menerapkan one gate information, yakni membuka sumber informasi satu pintu sekaligus penyediaan data kasus yang terspesifikasi, maka penyebaran informasi akan menjadi lebih efektif untuk pencegahan penularan virus.

Yang kedua adalah tes kesehatan massal. Kita lihat di beberapa negara, dalam penanganan kasus penyebaran virus, mereka melakukan rapid test secara massal. Mungkin beberapa daerah atau kota sudah menerapkan hal itu, tapi melihat tingkat penyebaran virus corona yang semakin tinggi setidaknya tes kesehatan massal bisa diterapkan di seluruh tingkat daerah. Hal ini bertujuan untuk deteksi dini resiko penyebaran virus, di sisi lain, ketakutan masyarakat terhadap sentimen-sentimen gejala bisa teratasi. Bisa kita lihat bagaimana ketakutan masyarakat terhadap seseorang di sekelilingnya ketika batuk atau bersin. Inilah yang kemudian akan menimbulkan kekhawatiran karena mereka mungkin beberapa mempercayai bahwa orang yang batuk atau bersin terindikasi gejala corona. Dengan mengetahui gejala melalui serangkaian tes massal, penderita atau pasien bisa mengetahui dengan pasti kondisinya sehingga mereka tau apa yang harus dilakukan atas saran petugas kesehatan. Di sisi lain, hal itu juga untuk mengurangi tingkat penyebaran setiap orang yang terindikasi positif corona.

Yang terakhir adalah akses layanan masyarakat. Akses layanan masyarakat ini dimaksudkan sebagai wadah konsultasi dan edukasi. Untuk menciptakan lingkungan yang kondusif karena kekhawatiran akan resiko penyebaran virus, pemerintah daerah bersama masyarakat akan menjangkau daerah-daerah yang memang minim penyebaran informasi dan cenderung daerah yang abai terhadap penyebaran virus. Apalagi baru-baru ini, sebanyak 18.830 masyarakat turut berpartisipasi menjadi relawan penanganan COVID-19. Dengan mengerahkan tenaga kesehatan untuk langsung terjun ke daerah-daerah yang memang bermasalah, para relawan secara langsung bisa memberikan edukasi dan menerima layanan konsultasi. Tujuannya untuk menangkal kekhawatiran sekaligus mendeteksi dini resiko penyebaran virus. Maraknya desa atau daerah-daerah yang kurang simpatik dengan warganya yang terjangkit positif corona adalah salah satu dari kurangnya edukasi kepada masyarakat, bukan hanya itu, mereka bahkan menolak kepulangan salah satu warganya dari luar kota karena takut terjangkit virus, bahkan kurang simpatik dengan keluarga korban yang terjangkit virus. Jadi ini merupakan problem lain yang juga harus diperhatikan karena akan membangun gap antar masyarakat. Hal ini perlu dilakukan dengan serangkaian edukasi yang tujuannya untuk membangun persepsi masyarakat tentang pentingnya membangun ikatan sosial di tengah pandemi ini untuk memeranginya secara bersama.

Oleh karena itu kekuatan empati dan simpati masyarakat terhadap pandemi ini harus dikuatkan. Selain itu, peran pemerintah juga menjadi penting sebagai edukator dan fasilititator dalam menekan kasus penyebaran ini. Melalui instruksi yang diberikan oleh presiden, pemerintah provinsi dan daerah juga turut berpartisipasi dalam mengedukasi masyarakat hingga ke tingkat bawah, selain itu peran lembaga sosial dan para relawan sosial dalam mengedukasi dan memberikan bantuan sosial juga turut memberikan manfaat yang besar. Untuk menghimpun kekuatan bersama, masyarakat Indonesia membutuhkan instruksi dan arahan yang jelas dari pemimpin negara. Sehingga pemerintah bersama masyarakat menghimpun kekuatan untuk menekan resiko penyebaran virus dan menyelesaikan pandemi ini.


Referensi:

https://www.pinterpolitik.com/delusi-statistik-covid-19-indonesia/ diakses tanggal 7 April 2020.


Share:

DEMOKRASI DIGITAL DAN UPAYA MEMUTUS RANTAI PENYEBARAN VIRUS CORONA DI INDONESIA

 

DEMOKRASI DIGITAL DAN UPAYA MEMUTUS RANTAI PENYEBARAN VIRUS CORONA DI INDONESIA

 

Pada tahun ini, dunia dikejutkan dengan adanya pandemi global yang menjangkit umat manusia dengan sangat cepat. Pandemi bukanlah hal baru di dunia ini karena sudah berabad-abad lalu pandemi sudah menyerang umat manusia, bahkan menghabiskan total sepertiga populasi negara bagian Eropa. Virus corona atau SARS CoV-2 merupakan jenis virus yang menyerang sistem pernapasan dan imun manusia. Tingkat fatalitas kematian yang disebabkan virus ini terbilang kecil, sekitar 4-5 persen. Ini lebih kecil dari jenis virus ebola yang bisa sampai 50 persen tingkat fatalitas kematiaannya. Tapi yang berbahaya dari jenis virus ini (virus corona) adalah transmisi penyebarannya yang begitu cepat dan dapat bermutasi berkali lipat. Dalam kurun waktu 3 bulan pasca World Health Organization (WHO) menetapkan virus corona atau Covid-19 sebagai pandemi global (11 Maret 2020), kasus kematian akibat virus ini sudah menyentuh angka 70 ribu lebih dengan 1 juta kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Di Indonesia sendiri, angka kematian akibat Covid-19 sebesar empat ribu lebih korban jiwa dengan 90 ribu lebih kasus terkonfirmasi positif Covid-19 (23/7/20).

Sebagai upaya pencegahan penyebaran virus ini, pemerintah terus menyosialisasikan tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan seperti mencuci tangan dan menggunakan masker, selain itu diterapkannya Work From Home (WFH), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), penerapan physical distancing, dan lain sebagainya. Dalam upaya tersebut, pemerintah mencoba untuk memutus jalur transmisi penyebaran virus karena mengingat vaksin untuk virus ini sendiri belum ditemukan. Dalam rangka mengurangi penyebaran transmisi virus, pemerintah bersama masyarakat turut membangun solidaritas bersama untuk mengikuti anjuran kesehatan. Anjuran ini bukan hanya berlaku di Indonesia, bahkan semua negara yang terdampak juga dituntut untuk mengikuti anjuran sesuai protokol kesehatan.


Himbauan dari pemerintah ternyata belum mampu diserap masyarakat dengan baik. Akan tetapi kalau kita maknai kembali bahwa masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat dengan karakter seragam, mereka terdiri dari kelompok masyarakat yang beragam dengan kultur dan karakter yang berbeda-beda sehingga muncul interpretasi-interpretasi yang beragam. Sedangkan di tingkat pemerintahan sendiri, masyarakat juga menilai terjadinya miskomunikasi dan disintegritas antar pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan pandemi corona ini. Fenomena ini kalau disandingkan dengan sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis parlementer sungguh belum terencana dan terealisasi dengan baik. Secara kultur masyarakat, Indonesia memang sesuai dengan sistem demokrasi namun nyatanya di masyarakat sendiri, demokrasi belum dimaknai dengan baik. Jadi dalam hal ini, pemerintah terutama legislatif perlu mengakomodir aspirasi masyarakat dan juga mengkomandoi penanganan pandemi melalui suara-suara masyarakat di berbagai tingkatan. Apa yang dirasakan masyarakat akibat adanya pandemi sungguh luar biasa destruktif. Terjadinya PHK di berbagai daerah misalnya yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran, kemudian menurunnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok dan sekunder. Inilah yang kemudian membutuhkan solidaritas dan sinergitas antara masyarakat dan wakil masyarakat dalam menekan penyebaran virus corona.

Dibutuhkan Solidaritas dan Sinergitas

Upaya pemerintah dalam mitigasi penanganan Covid-19 sangatlah penting di berbagai sektor lembaga pemerintahan, dari pusat hingga daerah. Mengingat jumlah kasus yang kian signifikan, antara lembaga eksekutif dan legislatif haruslah berjalan beriringan. Oleh karena itu ditingkatan lembaga legistlatif terutama, dari segi pengawasan misalnya, peran lembaga legislatif yakni perlunya menelusuri permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan, kemudian membuat alternatif-alternatif baru melalui fungsi legislasinya untuk menekan bahkan mengefektifkan penanganan kasus Covid-19 di Indonesia. Selama ini, penerapan protokol kesehatan misalnya, sebagian masyarakat masih cenderung meremehkan karena masih saja banyak yang tidak menggunakan masker dan menerapkan protokol kesehatan. Kemudian dalam rangka penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang juga masih ditemui di beberapa kota yang belum berhasil menekan kasus penyebaran Covid-19. Ini misalnya, belum ada pengawasan dan penertiban yang ketat, dengan terbukti masih lalu-lalangnya orang-orang luar kotayang masuk tanpa ada penertiban yang ketat. Fakta di lapangan masih ditemukannya data-data yang kacau, antara data yang diterbutkan satgas Covid-19, Dinas Kesehatan, dan rumah sakit yang tidak cocok atau terjadi kekeliruan. Di sisi lain terkait distribusi data kasus Covid-19, beberapa media online atau media sosial yang cenderung menyampaikan data tanpa disertai pengetahuan yang jelas dan valid tentang kasus pasien yang terpapar Covid-19.

Ketiga permasalahan di atas perlu dilakukan tindakan-tindakan serius karena menyangkut mitigasi pandemi yang juga harus dilakukan secara bersama. Dalam penanganan kasus Covid-19 ini, dibutuhkan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat juga turut diperhatikan. Unsur masyarakat Indonesia yang heterogen tidak bisa hanya menggunakan satu pendekatan yang bersifat umum karena setiap karakter dan ciri khas masing-masing daerah cenderung berbeda. Oleh karena itu upaya pendekatan dan pencegahan misalnya, dalam menyosialisasikan pentingnya penerapan protokol kesehatan haruslah mampu dicerna dan diterima masyarakat dengan sukarela bukan dengan unsur menekan atau paksaan. Jadi dibutuhkan sebuah klaim pernyataan yang sifatnya rasional dalam konteks penyebaran informasi sehingga apa yang disampaikan mampu diterima masyarakat dengan sukarela. Ini bisa dilakukan dengan mengeneralisasikan isi pesan kepada khalayak agar mudah dicerna dan dimengerti mengingat semua masyarakat bukanlah orang-orang berpendidikan tinggi. Kemudian dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal, misalnya menggunakan bahasa khas daerah masing-masing. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan atau menunjukkan kepedulian kepada masyarakat bahwa penanganan kasus butuh solidaritas bersama. Dari sini kita akan mencoba menjelaskan problem kepada masyarakat secara rasional sehingga bisa diterima masyarakat tanpa ada paksaan dan kecurigaan terhadap sebuah permasalahan.


Memaknai Demokrasi Digital

Sudah bukan hal baru lagi bahwa demokrasi digital adalah medium interaksi di kalangan masyarakat dunia, bahkan Indonesia. Demokrasi digital menginsyaratkan adanya konsep timbal balik antara produksi informasi dan konsumen informasi melalui media digital seperti website, aplikasi, dan media sosial. Media sosial saat ini sebagai arus utama penyebaran informasi yang mampu menjangkau hampir seluruh belahan dunia. Penetrasi media sosial terhadap kehidupan masyarakat terbukti mampu menjembatani komunikasi di luar garis batas wilayah atau negara. Apalagi kultur masyarakat sekarang yang cenderung social media addict sehingga dalam konsep demokrasi digital setidaknya masyarakat sudah mampu mengakses internet dengan cukup baik dan mandiri terutama di banyak wilayah Indonesia, internet sudah mampu dijangkau oleh banyak masyarakat.

Fenomena demokrasi digital sendiri merupakan maraknya penggunaan internet oleh masyarakat di suatu wilayah atau negara dengan membuka diskursus lintas ilmu dan pengetahuan dalam media internet, termasuk isu-isu seputar sosial-politik. Melalui demokrasi digital, politik dan demokrasi pun bukan lagi milik mereka yang duduk di atas kursi legislasi, melainkan menjadi suara masyarakat (vocal citizenry) (Gimmler, 2001:28-29). Hal ini relevan dengan teori Jurgen Habermas bahwa istilah demokrasi deliberatif yang meniscayakan adanya relasi antara masyarakat dan negara atau rakyat dengan wakil rakyat, produsen dengan konsumen. Hal ini menimbulkan efek timbal balik yang termasuk di dalamnya tidak ada sikap saling mendominasi melainkan otonomi kolektif.

Dalam teorinya, Jurgen Habermas juga menekankan pentingnya komunikasi dua arah, yakni komunikasi yang sifatnya timbal balik atau bisa diistilahkan intersubjektif. Namun pendekatan yang kita lakukan disini adalah melalui medium digital. Melalui medium digital, upaya-upaya tindakan bisa dilakukan dengan menjangkau lebih banyak masyarakat yang aktif di dunia digital seperti web, aplikasi mobile, dan media sosial. Mengambil istilah Jurgen Habermas dalam tindakan komunikatif, yakni dengan pendekatannya mengenai diskursus reflektif. Diskursus reflektif ini membuka tindakan komunikatif dengan sarana argumentatif. Hal ini dimaksudkan untuk mengahasilkan komunikasi yang sifatnya terbuka, kritis, dan obyektif. Dalam komunikasi argumentatif, orang tidak akan menerima begitu saja klaim kesahihan sebuah pernyataan karena orang akan menuntut adanya rasionalisasi dari sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh lawan bicara. Di sisi lain, ada problem fundamental yang mungkin agak susah dihilangkan, yakni hoax atau penyebaran informasi yang menyimpang. Dalam media digital tak terkecuali media sosial, hoax merupakan momok menakutkan yang berpotensi menyulut konflik dan merusak kohesi sosial. Ini adalah tantangan bagi era digitalisasi saat ini. Akan tetapi, problem-problem tersebut bisa direduksi dengan diterapkannya konvergensi informasi. Konvergensi informasi dimaksudkan untuk menciptakan satu gerbang informasi sehingga akses dan distribusi informasi yang tersentralisasi akan menciptakan informasi yang otentik dan valid.

Informasi Saja Belum Cukup

Maraknya penggunaan smartphone menjadikan aktivitas dan kehidupan masyarakat saat ini serba mobile. Ini sesuai dengan kultur masyarakat sekarang yang cenderung ke arah mobile activity. Sudah berapa banyak aplikasi dibuat oleh para pengembang bahkan masyarakat untuk menciptakan gaya baru dalam bersosial termasuk bekerja. Informasi seperti data, berita, dan opini merupakan intrumen penting sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan yang mampu menjangkau khalayak banyak. Selama ini saluran informasi yang digunakan begitu beragam, mulai dari media sosial, media cetak, media elektronik, bahkan melalui word of mouth. Di tengah pandemi seperti ini, informasi yang aktual merupakan hal penting untuk mengetahui berita-berita seputar kasus Covid-19 beserta data kasus penyebaran Covid-19 di Indonesia. Akan tetapi, sebagian masyarakat masih mencurigai terkait jumlah kasus di Indonesia yang tidak transparan. Kemudian klaim-klaim dari pihak rumah sakit yang dengan mudah menyatakan seorang pasien terpapar virus corona karena gejalanya mirip dengan gejala corona. Klaim-klaim tersebut banyak menjadikan beberapa masyarakat panik dan naik pitam karena mereka merasa menerapkan protokol kesehatan dan jarang sekali keluar rumah bahkan menemui tamu. Ketika ini terjadi, masyarakat sekitar akan merasa panik dan berimplikasi pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pandemi Covid-19 karena mereka menilai ini untuk menguntungkan salah satu pihak.

Kemudian yang kedua adalah munculnya stigma negatif tentang rapid test. Rapid test selama ini digunakan untuk mengetahui orang-orang yang mengalami gejala terpapar Covid-19 tahap awal dengan kondisi dinyatakan reaktif atau non reaktif terpapar Covid-19 dari hasil tes yang dilakukan. Mungkin, sebagian masyarakat menilai bahwa ketika dilakukan rapid test dan mereka yang dinyatakan reaktif pasca melakukan rapid test, akan berdampak buruk pada diri mereka karena asumsi mereka bahwa mereka akan dijauhi oleh lingkungannya dan mereka akan di rumahkan dari pekerjaannya. Ini yang mungkin masih terjadi di sebagian lingkungan masyarakat. Di sisi lain, sebagai individu, mereka akan merasa dibatasi ruang geraknya karena harus dipantau oleh masyarakat di lingkungkannya. Melihat dari problem-problem tersebut, kekhawatiran masyarakat terhadap pandemi ini akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan mereka termasuk privasi mereka. Oleh karena itu untuk mencegah atau menanggulangi hal tersebut dibutuhkan upaya preventif dan edukatif agar masyarakat dengan sukarela saling bergotong royong memutus jalur penyebaran Covid-19.

Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, berbagai aktivitas bisa terhubung dengan perangkat mobile kita masing-masing. Upaya dalam mengurangi atau memutus jalur penyebaran Covid-19 juga bisa diterapkan melalui smartphone kita masing-masing. Hal itu akan terealisasi apabila pemerintah bersama masyarakat bisa saling bekerja sama dalam menanggulangi pandemi ini. Oleh karena itu penulis memberikan beberapa alternatif yang mungkin bisa diterapkan dan relevan antara perkembangan teknologi mobile dan cara menanggulangi penyebaran Covid-19 ini. Ini bisa dimulai dengan adanya aplikasi pelaporan dan cek kesehatan mandiri melalui samartphone kita masing-masing. Hal ini dilakukan dengan membuat laporan gejala-gejala bagi mereka yang ingin mengecek kesehatan mereka melalui aplikasi penanggulangan Covid-19. Beberapa variabel yang perlu diperhatikan dalam pelaporan dan cek kesehatan mandiri adalah menulis riwayat penyakit atau gejala yang sedang dialami oleh si pasien, kemudian hasil konsultasi dari dokter apabila pernah melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Setelah itu melaporkan hasil rapid test atau PCR apabila pernah melakukannya. Dari tiga variabel tersebut, algoritma aplikasi smartphone akan mencocokkannya dengan gejala virus corona. Apabila tidak cocok maka si aplikasi akan memberikan saran kepada si pasien untuk menjaga kesehatan, menerapkan protokol kesehatan, dan melakukan pola hidup bersih dan sehat. Kemudian apabila algoritma menyatakan pasien dinyatakan reaktif, selanjutnya algoritma aplikasi akan memberikan perintah untuk memasukkan data diri si pasien dan  mengarahkannya ke menu tracking perjalanan si pasien. Tracking ini dimaksudkan untuk melacak sumber penyakit dan riwayat perjalanan penyakit. Setelah semua itu sudah dilaporkan, maka si pasien akan diarahkan untuk menjalani pemeriksaan lanjutan di rumah sakit terdekat yang menampung pasien-pasien terpapar Covid-19 dan si pasien akan diberikan pilihan apakah akan dijemput oleh petugas kesehatan atau berangkat secara mandiri.

    Dari alternatif di atas maka akan sejalan dengan model demokrasi deliberatif Jurgen Habermas namun dengan menggunakan pendekatan media teknologi kekinian. Hal tersebut sifatnya terbuka karena berdasarkan prinsip argumentatif dengan adanya komunikasi dua arah antara masyarakat dan negara dalam menjembatani penanggulangan Covid-19. Selain itu masyarakat juga akan merasakan terlindungi privasinya karena tidak melibatkan aktivitas publik yang terbuka secara langsung.


Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi artikel yang diselenggarakan oleh Badan Kerja Sama Antar Lembaga (BKSAP) DPR RI

Share:

PENGUATAN LITERASI DIGITAL DI ERA DISRUPSI MEDIA INFORMASI



Perkembangan teknologi informasi merupakan keniscayaan yang harus diterima saat ini. Disrupsi teknologi informasi menjadikan arus pertukaran dan penyebaran informasi bersifat real-time, karena kekuatan informasi terletak pada kapan informasi itu disampaikan dan diterima oleh masyarakat dan apabila informasi itu tidak segera disampaikan maka informasi tersebut akan tenggelam ditumpukan-tumpukan informasi lain. Mengingat bahwa panggung media hari ini bukan hanya milik lembaga media ataupun instansi pemerintah, akan tetapi sudah milik masyarakat luas karena mencuatnya eksistensi media sosial seperti facebook, instagram, whatsapp, dll. Jadi dalam menilai autentitas informasi, masyarakat dihadapkan dengan berbagai informasi yang serupa dengan sumber yang hampir sama. Oleh karena itu, dalam membedakan mana informasi yang benar dan yang salah, masyarakat harus jeli dalam melihat dari berbagai sumber dan sudut pandang.
Melihat fenomena era informasi saat ini, Reed (2014) menyatakan dampak dari penggunaan teknologi digital dan internet ialah bahwa, teknologi digital saat ini memasukkan lebih banyak informasi pada jari pengguna internet daripada yang pernah ada dalam sejarah umat manusia. Reed mengibaratkan bahwa semua perpustakaan kuno Alexandria yang hilang secara tragis yang memuat semua sumber pengetahuan pada masanya sekarang dapat dikandung microchip seukuran ujung jari telunjuk. Dengan tegas, pada era saat ini Sahrul Mauludi (2018) menjelaskan perbedaan antara media lama dan media baru adalah bahwa media baru bercirikan digitality, interactivity, hypertextuality, dipersal, dan virtuality. Hal itu semua merupakan dampak dari penggunaan teknologi digital dan internet. Media sosial adalah salah satu produk era informasi yang awalnya sebagai forum komunikasi di dunia maya dan saling berkirim pesan, akan tetapi hari ini menjadi bersifat multifungsi, yakni berperan sebagai panggung berekspresi dan berkirim informasi.
Media sosial sebagai panggung berekspresi, media bertukar informasi, dan berkomunikasi telah melibatkan hampir seluruh masyarakat dunia, dalam media ini kita tidak dibatasi oleh letak geografis maupun tingkat demografi. Hal ini mengaburkan batasan-batasan yang memisahkan karena semua itu sudah konvergen dalam panggung media sosial. Media sosial sebagai pusat komunikasi dan berbagi informasi di dunia digital menjadi semacam jalur distribusi dan gudang penyimpanan informasi. Informasi-informasi yang melintas ataupun tersimpan merupakan harta bagi setiap orang yang membutuhkan. Kita hanya tinggal mencari di kolom pencarian maka, abrakadabra, informasi yang kita butuhkan akan segera muncul. Inilah zaman instan, apapun yang kita inginkan akan segera keluar tanpa harus mencari susah payah keliling kota atau keluar dari rumah.

Menuju Literasi Digital
Era digital merupakan fenomena yang tidak ada henti-hentinya dibahas. Karena era digital seakan menandakan kemajuan peradaban yang awalnya ditandai dengan masyarakat primitif, agraris, industrialis, dan kemudian sekarang, fase digital. Era digital meniscayakan cara kerja dan cara hidup baru manusia. Semua hal yang bersifat konvensional seperti pencarian informasi maupun berita melalui media cetak koran, buku, televisi, dan radio sudah kurang diminati oleh masyarakat khususnya kalangan remaja atau milenial. Internet dianggap sudah menjadi pusat pengetahuan dan informasi. Kita bisa mengambil contoh, ketika mahasiswa diberikan tugas membuat makalah oleh dosen, yang mereka lakukan bukan mencari di buku ataupun koran, mereka lebih mementingkan cara mudah dan efisien yaitu mencari di internet. Mungkin tidak semua mahasiswa seperti itu, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mungkin beberapa tahun lagi, media cetak seperti koran, majalah atau buku sudah kurang diminati oleh masyarakat.


Internet membuat manusia hidaup dengan mudah, semua hal sudah berada disitu semua seakan merupakan dunia kedua bagi seseorang untuk berkomunikasi dan berekspresi. Internet menjadi pusat informasi, semua informasi dihimpun dalam sebuah data yang besar atau lebih eksisnya sekarang adalah big data. Big data menghimpun data pribadi dan informasi yang diunggah oleh seseorang untuk dipublikasikan maupun disimpan. Lalu bagaimana apabila informasi yang disimpan atau dipublikasikan terlalu banyak sehingga menyebabkan information overload? Hal itu bisa jadi hal postitf apabila informasi tersebut bermanfaat, mampu meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi, bagaimana apabila akibat terlalu banyaknya informasi, sehingga kita sebagai pengguna teknologi tidak bisa membedakan mana informasi yang salah dan yang benar. Paul Virilio, seorang filsuf Prancis menyebutkan kelebihan informasi sebagai “bom informasi” yang akan berdampak pada dehumanisasi.
Dilansir oleh APJII (Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia) pada tahun 2018, bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 171 juta jiwa dari total populasi penduduk 264 jiwa. Penggunanya lebih banyak didominasi oleh remaja dengan rentang usia 15 – 19 tahun. Pada usia tersebut mereka lebih cenderung menggunakan internet hanya sebagai ajang bermain game dan bermedia sosial. Sementara generasi dengan rentang usia tersebut merupakan generasi yang diharapkan oleh bangsa Indonesia mendatang yakni menjadi generasi yang cerdas, kreatif, dan inovatif. Karena di era mendatang masyarakat akan dihadapkan dengan teknologi komunikasi dan informasi yang kompleks dan canggih. Melihat fenomena yang eksis belakangan ini seperti pencemaran nama baik, penyebaran informasi hoaks, provokasi, penghinaan, hingga chat berbau porno berbasis media sosial merupakan masalah yang belum bisa terselesaikan, hal ini dikhawatirkan ketika terlalu lama belum diselesaikan bisa jadi ini merupakan hal yang biasa terjadi di media sosial dan dianggap sebagai hiburan belaka. Bisa jadi ini merupakan dampak dari kemajuan teknologi yang dibarengi dengan kurangnya edukasi tentang literasi digital.
Literasi digital merupakan hal yang sangat penting dan perlu diterapkan mengingat besarnya pengguna internet saat ini. Di Indonesia sendiri budaya literasi masih terbilang rendah, sebuah survey dari “Central Connecticut State University” yang dilakukan pada tahun 2016 menunjukkan  bahwa Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara soal minat baca (Mauludi, 96:2018). Lemahnya budaya literasi di Indonesia diperparah dengan meningkatnya pengguna internet dan smartphone di Indonesia tanpa dibarengi dengan literasi digital. Literasi digital sebagaimana pengertiannya merupakan kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui peranti komputer (Paul Gilster, 1997). Di tengah masifnya perkembangan teknologi informasi, kemampuan literasi perlu ditingkatkan guna menunjang daya pikir masyarakat untuk bersifat kritis, analitis, dan kreatif dalam menyikapi setiap konten atau informasi yang beredar di internet maupun media sosial. Untuk itu, literasi digital perlu didorong sebagai mekanisme pembelajaran yang terstruktur dalam kurikulum atau setidaknya terkoneksi dengan sistem belajar-mengajar (Chabibie, 2017). Di sisi lain, kampanye literasi digital juga perlu disebarluaskan untuk menjangkau masyarakat yang belum faham mengenai pentingnya literasi digital.
Kampanye literasi digital secara masif dengan meningkatkan kemampuan analitis di tengah progresifnya teknologi digital dan menumbuhkan kecerdasan bermedia sosial akan mengarahkan lintas generasi bangsa ini pada kemanfaatan teknologi, bukan sampah media sosial beserta energi kebencian yang menyertainya (Chabibie, 2017). Kampanye literasi digital bisa dilakukan secara sederhana, melalui penyebaran konten positif dan edukatif di media sosial atau ajakan untuk membaca di tingkatan keluarga, komunitas, teman, atau lingkungan sekitar. Pada lingkungan pendidikan formal seperti sekolah dan universitas, kampanye literasi digital akan berjalan apabila kurikulum pendidikan memasukkan literasi pendidikan sebagai bahan ajar. Hal ini untuk menunjang kemampuan peserta didik dalam mengelola informasi yang bertebaran di media. Selain itu, melalui kurikulum tentang literasi digital, peserta didik mampu memfiltrasi, mengkritisi, dan menganalisis konten-konten yang negatif yang tidak pantas dipublikasikan di masyarakat. Di tengah kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat, literasi digital diharapkan mampu menjembatani kemampuan generasi hari ini menuju Indonesia Emas.

Referensi: Mauludi, Sahrul. 2018. "Socrates Cafe". Jakarta: Elex Media Computindo.
                   Jurnal, dan media elektronik


Dibuat sebagai persyaratan mengikuti Pelatihan Jurnalistik
Share:

MENUJU SDM UNGGUL BERDAYA SAING, MEWUJUDKAN SMART SOCIETY

Meningkatnya pertumbuhan penduduk merupakan keniscayaan yang harus dibarengi dengan tumbuh kembangnya suatu peradaban, baik dari segi sumber daya manusia, ekonomi, infrastuktur, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya. Indonesia merupakan bangunan peradaban yang relatif masih muda semenjak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh Bung Karno 74 tahun yang lalu. Saat ini, Indonesia dihadapkan dengan peluang strategis pembangunan. Dari sisi demografis, masyarakat Indonesia dihadapkan dengan Bonus Demografi, dimana hal itu terjadi ketika 70% masyarakat Indonesia memasuki usia produktif angkatan kerja, sedangkan di sisi lain, bangsa Indonesia dihadapkan dengan fenomena Revolusi Industri 4.0.



Tren kemajuan teknologi saat ini menjadi tolak ukur dalam perekembangan suatu negara. Apabila semenjak PD I bangsa Eropa menjadi pelopor kemajuan karena kecanggihan instrumen perangnya, dan pada PD II Amerika menjadi kiblat dalam kemajuan teknologinya, akan tetapi saat ini bangsa Asia mulai menunjukkan kapasitasnya dalam kemajuan teknologi dan pembangunan SDM-nya. Hal ini terbukti karena kemandirian bangsa Asia dalam menciptakan sendiri teknologinya dan kemampuan SDM-nya yang turut diperhitungkan di kancah dunia. Lalu di mana posisi Indonesia hari ini?

Reinventing Indonesia, sebuah istilah yang mungkin agak kontroversial. Istilah ini mengandung makna bahwa Indonesia entah sebagai sebuah negara atau peradaban yang pernah unggul di zaman dulu. Pernah ada sebuah penelitian tentang benua Atlantis yang mungkin tidak asing di telinga kita, sebuah peradaban maju dengan kemampuan manusia-manusianya yang unggul dan teknologi-teknologi mutakhir. Dalam penelitian tersebut kawasan Indonesia atau Nusantara disebut-sebut sebagai benua Atlantis yang pernah hilang, lalu apakah penelitian tersebut benar atau valid? Mungkin saja atau bisa jadi. Kita tidak akan jauh membahas hal itu, akan tetapi hal itu bisa jadi sebuah daya dorong untuk bergerak maju ke depan.

Dalam konteks Indonesia hari ini, kemajuan merupakan agenda penting bersama, dibangun dengan kekuatan bersama baik dari masyarakat maupun pemerintahannya. Lalu outputnya adalah terciptanya good governance dan smart society. Pemuda atau generasi milenial saat ini ialah pioneer pembangunan negara-bangsa, karena pergeseran budaya dan realitas sosial hari ini sudah melalui generasi-generasi sebelumnya. Hari ini kan serba instan, apalagi dengan menggunakan satu alat itu harus mampu menjangkau segala permasalahan, misalnya saja dengan menggunakan aplikasi gojek kita sudah bisa memesan makanan, tumpangan, pembayaran tagihan, kirim barang, dan lain-lain. Dibalik itu ada aktor-aktor muda yang berperan dalam mewujudkan konsep pembangunan yang juga turut andil dalam mewujudkan ide-ide kreatif dan inovatif mereka..

Meminjam istilah Karl Popper, tentang “konstruksi sosial” dimana masyarakat membentuk cara berpikir manusia secara terbuka, membuka alternatif-alternatif pemikiran baru dan mengakui keberadaan masyarakat baik yang sifatnya individu maupun kolektif. Jadi dalam konteks Indonesia hari ini, peran masyarakat untuk menggunakan daya cipta kreasi dan inovasi perlu difasilitasi untuk menunjang keterampilan dan daya saing SDM-nya, hal ini sangat penting mengingat keterbukaan masyarakat terhadap hal-hal baru maka akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya di bidang baru, sejalan dengan sistem demokrasi yang sifatnya substansial. Jadi pemerintah hanya memfasilitasi atau bertindak sebagai juri untuk memunculkan pengetahuan dan penemuan-penemuan baru. Era saat ini meniscayakan sifat open-society, masyarakatnya padat pengetahuan vis a vis internet atau digital informasi.

Menyatukan Peluang

Mengutip pernyataan Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, bahwa masyarakat dan negara yang kuat adalah yang padanya terdapat tiga perkara. Pertama, adanya solidaritas kebangsaan yang kokoh. Kedua, kuantitas dan kualitas sumber daya manusianya. Ketiga, kebangkitan suatu bangsa dan kejayaan negara berawal dari dan hanya akan langgeng apabila orang-orangnya selalu optimistis dan mau terus-menerus bekerja keras. Dalam tiga perkara tersebut, sinergi dan kolaborasi antara masyarakat khususnya pemuda dan pemerintah adalah upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia yang unggul sesuai tagline kemerdekaan Indonesia ke 74. Di sisi lain, guna merealisasikan pemindahan ibu kota baru, ketersediaan pendidikan, fasilitas kesehatan, teknologi informasi, dan infrastruktur merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang pembangunan SDM yang unggul.

Dalam pembangunan masyarakat yang unggul setidaknya harus dibarengi dengan menanamkan ideologi bangsa yang kuat yakni Pancasila, ideologi ini berfungsi untuk mengikat, menyatukan, dan menggerakkan visi kemajuan negara-bangsa. Sedangkan dalam pembangunan SDM yang berkualitas perlu ditunjang dengan fasilitas pendidikan, keterampilan, dan kesehatan yang merata serta memadai, terutama ketersediaan teknologi. Melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) saat ini, Indonesia menduduki rangking 36 dari 114 negara di dunia. Dimana IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, berdasarkan penelitian Institute for Management Development (IMD), daya saing tenaga kerja di Indonesia masih tertinggal dibandingkan sejumlah negara ASEAN yang menduduki peringkat 47. Persoalannya adalah rendahnya pendidikan dan ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan bidang pendidikan yang diminati. Hal ini berimplikasi pada peluang era Bonus Demografi yang memprioritaskan 70% usia produktif masyarakat dalam memasuki dunia kerja. Di sisi lain, guna menikmati era revolusi industri 4.0, infrastuktur IT dan keterampilan masyarakat dalam menggunakan IT juga perlu difasilitasi, baik dalam bentuk pendidikan maupun pelatihan. Sebagai tambahan, semangat kewirausahaan juga perlu ditanamkan di tengah persaingan usaha berbasis teknologi digital. Oleh karena itu, sinergi pemerintah dan masyarakat dengan didukung infrastrktur TI yang memadai akan menciptakan good governance dan smart society menuju pembangunan ibu kota Indonesia baru.


Kompetisi Artikel "Harapanmu untuk Ibu Kota Baru" yang diselenggarakan oleh Bappenas




Share:
PENDIDIKAN PANCASILA: DARI INTERPRETASI UNTUK IMPLEMENTASI


Tepat pada tanggal 18 Agusrus 1945 melalui sidang PPKI,  Pancasila telah disahkan sebagai sebuah ideologi negara yang mampu menjembatani perbedaan suku, agama, ras, dan budaya di Indonesia. Indonesia sendiri merupakan masyarakat heterogen yang membutuhkan suatu instrumen perekat perbedaan. Tidak hanya itu, Pancasila memberikan slogan politiknya yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang tujuannya untuk mempersatukan segala faham perbedaan. Hal tersebut di latar belakangi oleh kondisi sosial yang timbul akibat perpecahan dan pergolakan ideologi-ideologi dunia yang sudah usang karena hanya memberikan semacam slogan utopis tentang keadilan ekonomi dan sosial, dan terbukti hal itu memicu pertarungan hingga perang antara kapitalisme dan komunisme, fasisme dan sosialisme. Pancasila sebagai alternatif pemikiran merupakan salah satu ideologi yang bisa dikatakan eksklusif karena sesuai lima butir nilainya yang memberikan konsep bernegara dengan menyandarkan pada penghargaan terhadap hak-hak masyarakat. Pancasila sampai saat ini belum menempatkan dirinya sebagai pedoman komprehensif bagi masyarakat Indonesia yang digunakan dalam setiap pergerakan dan operasional berbangsa yang luhur seperti yang tercantum dalam lima butir nilainya. Tidak seperti Mein Kampf nya partai Nazi bangsa Jerman dan juga bukan Manifesto Komunisnya partai Komunis.

Akan tetapi niai-nilai dasar negara yang tercantum dalam Pancasila memberikan semacam ruh kehidupan berbangsa yang dinamis dan responsif. Pernyataan tersebut di kuatkan dengan statement Soekarno bahwa Pancasila merupakan ideologi yang dinamis, artinya memberikan segala ruang bagi masyarakatnya untuk menafsirkan lima butir nilai tersebut menjadi sebuah kredo pergerakan masyarakat maupun negara yang aktif dan responsif dalam mengahdapi arus zaman yang terus berubah dengan tetap mengedepankan keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa nyatanya masih belum terimplementasikan secara utuh, terbukti dengan masih banyaknya korupsi, korupsi berjaring yang terstruktur. Baru-baru ini kasus korupsi proyek pembuatan E-KTP yang terbukti mendakwa Ketua DPR Setya Novanto. Korupsi tersebut terindikasi melibatkan banyak pejabat pemerintah dan pejabat perusahaan. Korupsi sendiri merupakan momok paling menakutkan yang merusak negara dengan merugikan sebagian uang negara yang seharusnya digunakan sebagai pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya. Dari laporan rekapitulasi tindak pindana korupsi oleh KPK yang diupdate pada 31 Desember 2017 menyatakan Per 31 Desember 2017, di tahun 2017 KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: penyelidikan 123 perkara, penyidikan 121 perkara, penuntutan 103 perkara, inkracht 84 perkara, dan eksekusi 83 perkara. Dan total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2017 adalah penyelidikan 971 perkara, penyidikan 688 perkara, penuntutan 568 perkara, inkracht 472 perkara, dan eksekusi 497 perkara. Badan anti-korupsi dunia menyatakan laporannya tentang upaya pemberantasan korupsi, dari 176 negara, sesuai Indeks Persepsi Korupsi, Indonesia menduduki peringkat 90 negara yang korup dengan skor 37 sedangkan untuk negara yang rendah korupsi diduduki oleh Denmark dengan skor 90.

Karena itu lima butir nilai Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai teks normatif yang kaku akan tetapi sebagai sebuah epistemologi yang terstruktur berupa pedoman baku. Dalam konteks pendidikan setidaknya pedoman tersebut dijadikan sebuah ilmu yang menjelaskan secara eksplisit dari setiap butir nilai Pancasila. Seperti yang dikatakan Yudi Latif dalam bukunya (Revolusi Pancasila) bahwa Pancasila sebagai ideologi sesungguhnya telah memiliki landasan keyakinan normatif dan preskriptif yang jelas dan visioner. Pokok-pokok moralitas dalam haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai berikut:

Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang memisahkan agama dan negara serta berpretensi menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut alam Pancasila diharapkan dapat melindungi dann mengembangkan kehidupan beragama, sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial.

Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas, yang mengarah pada persaudaraan dunia, dikembangkan melalui jalur ekternalisasi dan internalisasi. Ke luar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimiliki untuk secara bebas-aktif "ikut melaksanakan ketertiban dunia yany berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri.

Ketiga, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkaran pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan "bhinneka tunggal ika".

Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka "musyawarah mufakat".

Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu-yang terlembaga dalam pasar-dan peran manusia sebagai makhluk sosial-yang terlembaga dalam negara-juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Dari interpretasi lima nilai dasar Pancasila di atas orientasi tindakannya harus ditujukan pada keadilan sosial dan ekonomi. Dalam konteks pendidikan bagaimana Pancasila diformulasikan menjadi seperangkat pedoman yang membebaskan dari belenggu ideologi-ideologi yang telah korup dan usang. Pendidikan sebagaimana tujuannya yaitu untuk membentuk karakter manusianya dalam kehidupan yang adil dan bijaksana. Pendidikan menurut Paulo Freire adalah instrumen untuk membebaskan manusia supaya mampu mewujudkan potensinya. Oleh karena itu, pendidikan memainkan peranan strategis untuk membawa manusia kepada kehidupan yang bermartabat dan berkualitas. Peran pendidikan sangat menentukan bagaimana generasi bangsanya membawa kehidupan yang lebih baik lagi, oleh karena itu pendidikan diharapkan mampu diakses oleh seluruh kalangan masyarakatnya dan disini pendidikan juga sebagai stimuli untuk menanamkan pemahaman Pancasila secara konkret serta menjauhkan dari sifat korup manusianya.

Dikutip dari Hipwee Community (19/01/16), Denmark yang merupakan negara paling bersih dari korupsi menyatakan indikator keberhasilannya tidak lepas dari model pendidikan yang diterpakan di negara itu yakni bahwa kebijakan negara yang mewajibkan setiap generasi muda untuk sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi membuat rakyat disana memiliki sifat kritis terhadap pemerintah, mereka paham betul bagaimana sistem, situasi dan kondisi kekuasaan pemerintahan yang sedang memimpin mereka. Mereka juga memiliki pemahaman yang mendalam atas bagaimana lembaga-lembaga negara bekerja ataupun bagaimana seharusnya berjalan dengan semestinya. Hasilnya, masyarakat Denmark jadi memiliki kepercayaan yang sangat tinggi kepada pemerintahnya bahwa pemerintahnya benar-benar bekerja sesuai dengan fungsi dan tugasnya, serta membawa negara Denmark mencapai tujuan negara yang bersih dari korupsi. Tingginya tingkat pemahaman dan kepercayaan masyarakat inilah yang pada akhirnya mendorong partisipasi masyarakat Denmark dalam kegiatan kenegaraan. Negara tersebut juga memberikan biaya pendidikan gratis bagi rakyatnya entah itu dari pihak negeri maupun swasta. Pemerintah disana membayar generasi mudanya agar mau pergi kuliah, jika para mahasiswa lebih memilih untuk tinggal terpisah dari orang tuanya (mandiri), pemerintah akan membantu biaya hidup mereka sekitar US$ 900 atau setara dengan Rp 11,9 juta-an per bulan. Hak ini didapat semua warga Denmark di atas usia 18 tahun dan mendapat pendanaan hingga enam tahun selepas lulus SMU.

Hal inilah yang menanamkan sifat nasionalisme kepada rakyatnya, terutama menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Untuk itu pendidikan di sekolah sebagai pembentukan karakter individu juga harus memiliki pemahaman bukan hanya di bangku sekolah akan tetapi selayaknya kurikulum dari sekolah mengharuskan siswanya dituntut dan mau berpartisipasi ke masyarakat sehingga apa yang mereka lihat dan rasakan seobjektif mungkin sesuai fakta kondisi sosial. Seperti yang diungkapkan Paulo Freire, sistem pendidikan tidak boleh dipisahkan dengan fakta objektif, apa yang harusnya dilakukan oleh pendidikan adalah menyatukan antara subjek sebagai siswa dan objek sebagai masyarakat atau kondisi sosial, artinya siswa bukanlah sebagai objek yang dijadikan oleh gurunya untuk patuh dan bertindak sesuai ucapannya saja tapi harus benar-benar berbicara dan menyatakan gagasan serta sikap mereka sesuai fakta yang objektif.

Pemerintah sebagai pemegang dan pengatur kebijakan pendidikan memainkan peran penting untuk membawa generasi bangsanya. Apalagi baru-baru ini telah diresmikannya UKP-PIP atau Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Lembaga baru itu ditugaskan untuk memperkuat pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang terintegrasi dengan program-program pembangunan termasuk pengentasan kemiskinan, pemerataan kesejahteraan dan berbagai program lainnya. Melalui UKP-PIP ini penghayatan dan pengamalan Pancasila diharapkan mampu diakses merata oleh masyarakat, termasuk dalam konteks pendidikan yang dimanfaatkan untuk menanamkan pemahaman Pancasila secara eksplisit, bukan hanya sebagai seperangkat keyakinan yang memuat lima nilai dasarnya saja, melalui UKP-PIP ini penafsiran Pancasila perlu dirumuskan sebagai bahan ajar siswa-siswa di dunia pendidikan agar apa yang tertuang dalam lima nilai dasar Pancasila diaktualisasikan dalam tindakan yang konkret.

Akhirnya, pendidikan sebagai tempat belajar-mengajar dan pembentukan karakter manusia yang ideal perlunya mengakomodasi nilai-nilai Pancasila secara eksplisit dan komprehensif, tujuannya agar apa yang diharapkan pejuang bangsa mampu terimplentasi secara nyata melalui pengahyatan dan pengamalan Pancasila. Aktualisasi Pancasila sebagai falsafah negara harus memenuhi dalam kriteria pandangan hidup bukan hanya sebagai falsafah negara. Pandangan hidup yang berupa tindakan konkret, artinya Pancasila sebagai ideologi negara bukan dipandang sebagai hal yang tekstual akan tetapi secara kontekstual melegitimasikan nilai normatifnya sebagai nilai praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan pemerintah yang dipandang sebagai wakil rakyat yang diamanahkan menjaga dan mempertahankan bangsa dan negara memberikan suri tauladan dalam pengamalan Pancasila untuk rakyatnya.



DAFTAR PUSTAKA

https://www.hipwee.com/list/biaya-hidup-lebih-tinggi-5-kali-lipat-dari-indonesia-kenapa-denmark-menjadi-negara-paling-bersih-dari-korupsi/. Dimuat pada 19 Januari 2017, dalam Zadalas.
https://www.google.co.id/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/3692750.html. Eva Mazrieva. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun ke Peringkat 90. Dimuat pada 26 Januari 2017.
Latif, Yudi. 2015. Revolusi Pancasila. Jakarta: Mizan.
Freire, Paulo. 2010. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Share:
MUSLIM KOSMOPOLITAN
(ANTARA FUNDAMENTALISME ISLAM DAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA)











Nama:
Alfian Hamdani





DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.4. Batasan Masalah
1.5. Metodologi Penulisan
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Ideologi
2.2. Pengertian Fundamentalisme
2.3. Sejarah Munculnya Fundamentalisme Islam Di Indonesia
BAB III: PEMBAHASAN
3.1. Pancasila Sebagai Payung Bangsa
3.2. Islam: Nafas dan Kredo Gerak Kehidupan
3.3. Semangat Pancasila dan Islam dalam Bernegara
BAB IV: PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Menjamurnya kata-kata kafir seolah menjadi isu krusial apalagi mengatasnamakan salah satu agama sebagai tolak ukur baiknya sikap dan tindakan seseorang. Pernyataan ini tidak lepas dari tindakan seseorang yang dinyatakan telah melenceng dari akidah sebagaimana telah tercantum dalam Al-Qur'an dan hadist. Seperti yang dinyatakan oleh D. Caputo bahwa esensi agama adalah cinta kasih yang menebar kebaikan dan kasih sayang dalam kaitannya dengan hablum minannas, hablum minallah dan hablum minalalam. Agama sudah menjamin masing-masing setiap orang untuk menjalankan dan memegang kepercayaannya sebagai pedoman hidup, termasuk agama Islam yang merupakan agama profetik yang salah satunya yaitu menjadikan setiap orang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia baik itu yang berbeda kepercayaannya. Meminjam perkataan Kuntowijoyo bahwa dalam pengertian profetik, Islam memberikan 3 konsep ilmu sosial yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Jadi jelas bahwa dalam hal ini Islam memberikan suatu konsep kehidupan yang harmonis dalam masalah sosial. Suatu sikap yang telah dinyatakan suatu golongan dalam melabeli seseorang sebagai kafir mengindikasikan adanya luka tersendiri bagi Islam yang sebenarnya sudah dinyatakan di atas sebagai agama yang profetik. Tidak lepas dari itu bahkan manuver-manuver yang dilakukan golongan tersebut dicap sebagai teroris oleh sebagian negara dan menjadi stigma negatif bagi masyarakat karena telah melakukan tindakan teror dan radikal, dari perusakan fasilitas umum sampai bom bunuh diri yang banyak memakan korban. Kelompok fundamentalisme yang melakukan tindakan terorisme menjadi polemik yang tak henti-hentinya dibahas dalam banyak perbincangan, banyak dari mereka yang menganggap kelompok fundamentalisme sebagai representasi dari tindak kekerasan dan teror yang dilakukan oleh umat Islam dalam memberantas agama lain yang tidak sefaham dengan mereka. Akibatnya, dunia menganggap mereka sebagai musuh bersama dan harus diberantas. Tindakan radikal dan teror yang dilakukan oleh kelompok ini tidak terlepas dari derasnya arus globalisasi yang bersifat materialistik sehingga berimplikasi pada respon mereka terhadap globalisasi untuk dilakukan semacam rekonstruksi tatanan dunia yang mereka idealkan.
Islam merupakan agama yang mengajarkan kasih sayang, melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, dalam Al-Qur'an Tuhan menyerukan bahwa Islam merupakan agama yang menghargai perbedaan seperti yang tercantum dalam surat al-Hujurat ayat 13:
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui. (Q.S al-Hujurat: 13)
Islam memberikan pengakuan kepada bangsa lain untuk saling mengenal dan menghargai tanpa tendesi apapun.
Pancasila sebagai ideologi negara menawarkan sebuah konsep integral dalam berbangsa dan bernegara. Dalam perubahan sosial yang dinamis pancasila masih relevan untuk diaktualisasikan dalam setiap deru napas kehidupan bangsa. Sebagai ideologi negara pancasila mampu mengatasi ketegangan perbedaan antar agama, suku, ras, dan budaya. Pancasila dan Islam merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pancasila sebagai ideologi mengatur kehidupan dalam artian materil sedangakan Islam sebagai agama mengatur kehidupan secara transenden. Jadi dalam pengertian ideologi dan agama mempunyai masing-masing peran dalam mengatur kehidupan yang duniawi dan ukhrawi.

1.2. Rumusan Masalah

  1. Pergolakan antara Islam dan Pancasila membawa kesan kepada penulis untuk menjelaskan dan mendeskripsikan relasi Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Dalam hal ini yang perlu dipertanyakan adalah:
  2. Bagaimana hubungan antara Islam dan Pancasila?
  3. Bagaimana munculnya kelompok fundamentalis dalam memenuhi konstelasi politik di Indonesia?
  4. Bagaimana Pancasila mempunyai nilai moral yang mampu membawa perubahan yang harmonis?
  5. Bagaimana Pancasila sebagai ideologi mampu mengatasi ketegangan konflik kepentingan kelompok terutama fundamentalisme agama?


1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan ini untuk menambah dan memperdalam wawasan tentang topik pembahasan. Manfaat Penulisan terutama untuk memberikan sumbangsih pemikiran kepada pembaca yang terhormat.

1.4. Batasan Masalah
Pada penjelasan mengenai fundamentalisme Islam dan Pancasila dalam makalah ini, ditinjau secara ideologis harapannya kekaburan mengenai ideologi Islam yang mengarah ke eksklusivisme ini bisa ditemukan titik terangnya sehingga Pancasila dan Islam bisa disintesiskan sebagai nilai moral dan pandangan umum yang bercorak universal. Yang kedua antara dikotomi Islam dan Pancasila mempunyai nilai universal yang mampu diterima sebagai falsafah bangsa yang dinamis dan pluralis.

1.5. Metodologi Penulisan
Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis menggunakan studi literatur untuk menunjang teori dan permasalahan dalam topik pembahasan.

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Ideologi
Istilah ideologi pertama kali dikenalkan oleh Destutt De Tracy. Dia merupakan pemikir Perancis yang memposisikan ideologi vis a vis dengan gagasan teologis dan metafisika tradisional. Ideologi dalam pengertiannya bersifat positifistik yang tujuannya untuk menemukan kebenaran di luar otoritas agama. Ide-idenya ini terpengaruh oleh gagasan zaman pencerahan terutama Francis Bacon yang mencoba mensterilkan ilmu pengetahuan dari prasangka agama, kepentingan pribadi, dan kepercayaan mistik-metafisik dengan mengukuhkan metode ilmiah sebagai satu-satunya epistemologi yang sahih.
Secara umum, ideologi dapat didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan dan paradigma pengetahuan yang menyeluruh dan sistematis yang memberikan landasan interpretasi untuk bertindak. Dengan demikian, setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan tiga unsur: keyakinan, pengetahuan, tindakan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntutan-tuntutan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin, dan teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkret.
Ideologi merupakan seperangkat instrumen untuk mewujudkan cita-cita ideal dalam membangun sebuah tatanan sosial, ekonomi, dan budaya. Ideologi sebagai cita-cita memberikan nafas pergerakan yang dinamis dan visioner dalam setiap perubahan yang terus berubah, tak lepas dari itu ideologi mewarkan sebuah bentuk pemikiran radikal kepada masyarakat dalam mencapai cita-cita yang diidealkan. Seperti yang terjadi ketika komunisme di Cina yang dipimpin oleh Mao menjadi ideologi utama dalam membangun Republik Rakyat Cina. Konsep yang mereka tawarkan berorientasi pada pembangunan ekonomi kerakyatan dan meninggikan derajat para petani dan kelas bawah (proletar). Akan tetapi seiring kepemimpinan Mao dalam menjalankan otoritasnya, justru berbalik menyerang para petani. Ini mengiindikasikan adanya ketidaksesuaiaan dalam menjadikan ideologinya sebagai suatu konsep pembangunan negara yang ideal, artinya ideologi kadangkala bersifat paradoks dalam mengidealisasikan apa yang disebut cita-cita luhur.
Timbulnya ketegangan sosial antara kelas inferior dan superior menjadikan perjuangan ideologi sebagai sebuah ambisi besar untuk mencapai tujuan politis sebuah kelompok. Seperti yang diungkapkan oleh Andrew Heywood bahwa ide-ide dalam artian politis dibentuk oleh situasi sosial dan sejarah, yang di dalamnya mengembangkan dan dikembangkan oleh ambisi-ambisi politik yang melayaninya. Seperangkat ide tersebut membawa subjek pada sistem pemikiran yang terstruktur dalam mewujudkan tindakan politisnya menguasai dan melayani negara. Akhirnya ideologi menjadikan dirinya untuk seefektif mungkin mencapai tujuannya atas kontrol sosial penuh yang dengan itu mampu membawa perubahan sesuai konstruk pemikirannya karena watak dasar ideologi bersifat menguasai dan menyeragamkan. Selanjutnya, bagaimana ideologi mempunyai nilai moral yang mampu membawa perubahan yang harmonis antar masyarakat tanpa adanya subordinasi antar kelompok.
Dengan ini perlu adanya suatu ideologi integral yang mampu merangkul seluruh paradigama pembangunan negara yang bersifat universalistis dan merepresentasikan suatu perubahan yang dinamis dan mampu mengatasi segala ketegangan perubahan ekonimi-sosial yang terus berubah. Meskipun sejarah ideologi mempunyai luka mendalam dalam mengatasi perubahan sosial dan membangun tatanan masyarakat yang ideal, perlu adanya sebuah koreksi untuk menjadikan ideologi menjadi benar-benar cita-cita luhur bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep ideologi mempunyai beberapa fungsi yang menurut Soerjanto Poespowardojo ideologi memiliki 6 fungsi, yaitu:

  1. Struktur kognitif, ialah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam sekitarnya.
  2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
  3. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak.
  4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
  5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
  6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya.

Lebih dari itu ideologi memberikan sumbangan penting terhadap dinamika perubahan sosial yang revolusioner, merubah pondasi masyarakat yang statis menjadi dinamis dan apatis menjadi reaktif. Meskipun secara praksis ideologi memicu terjadinya konflik, tetapi secara gradual ideologi mengantarkan manusia pada tingkat kesadaran kolektif menuju tatanan masyarakat yang dicita-citakan yakni harmonis dan pluralis.

2.2. Pengertian Fundamentalisme
Istilah fundamentalisme, dalam pandangan Martin van Bruinessen, mengimplikasikan atau peneguhan kembali atas kebenaran kepercayaan sebagaimana ada dalam kitab suci Bibel, yang kembali ditegakkan dalam rangka mengahdapi serangan gencar ilmu pengetahuan sekuler, terutama dalam menghadapi teori evolusi Darwin.
Esposito merupakan salah satu kalangan sarjana barat yang mengemukakan bahwa istilah fundamentalisme setidaknya digunakan dalam tiga pengertian. Pertama, mereka yang berusaha menyerukan panggilan untuk kembali pada kepercayaan dasar atau pondasi agama bisa disebut kelompok fundamentalis. Dalam konteks masyarakat Islam, usaha kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul adalah sebuah model hidup yang normatif. Kedua, pemahaman dan persepsi tentang fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh tradisi Protestanisme Amerika. Fundamentalisme adalah gerakan Protestanisme abad ke-20 yang menekankan penafsiran Injil secara literal sebagai sesuatu yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen. Ketiga, istilah fundamentalisme sering kali dikaitkan dengan aktivitas politik, ekstrimisme, fanatisme terorisme, dan anti-Amerikanisme. Oleh karena itu, istilah tersebut oleh Esposito dianggap terlalu bermuatan presuposisi kristen dan stereotip Barat, serta mengisyaratkan ancaman monolitik yang tidak eksis.
Oleh kalangan ilmuwan sosial dan keagamaan, istilah fundamentalisme yang berkembang dalam dasawarsa pertengahan hingga akhir abad ke-20 telah sangat lazim dihubungkan dengan fenomena yang berdimensi politik. Istilah fundamentalisme yang hampir selalu muncul diiringi dengan kosa kata seperti radikalisme, ekstrimisme, dan bahkan anarkisme, telah menjadi suatu kategori pengetahuan tertentu untuk membedakannya dengan arus-arus kebudayaan dan keagamaan lain yang rasional dan moderat.
R M Burel mengaitkan pengertian fundamentalisme dengan pengertian yang disebutnya bersifat utopia atau khayal, yang mengacu pada semacam standard penyempurnaan yang bisa dipahami oleh manusia bahkan mungkin dapat dicapai di atas bumi. Inspirasi fundamentalisme berangkat dari pandangan masa lalu yang terlalu diidealisasi, bertujuan untuk mewujudkan kembali "zaman keemasan" sebagaimana dialami di masa lalu.
Maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi yang menggurita adalah bukti nyata dari kegagalan itu. Dalam dunia Islam, munculnya fundamentalisme disebabkan kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai telah menyudutkan umat Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk "menghibur diri" dalam sebuah dunia yang belum tercemar. Teori lain mengatakan bahwa membesarnya golongan fundamentalisme di berbagai negara Muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara-saudaranya di Palestina, Kashmir, Afghanistan, dan Iraq.

2.3. Sejarah Munculnya Fundamentalisme Islam di Indonesia
Dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya heterogen dan terkesan rawan konflik karena bisa jadi setiap kelompok maupun golongan saling beradu kekuatan dan gagasan yang cenderung bersifat politis. Dalam masyarakat yang memiliki perbedaan, khususnya yang dibahas dalama konteks ideologi memiliki kepentingan masing-masing dalam mewujudkan cita-citanya dalam berbangsa maupun berbangsa. Adanya subordinasi antar kelompok saling menimbulkan ketegangan dalam membangun tatanan sosial yang diidealkan. Maraknya isu Islamisme sendiri menimbulkan polemik bagi negara khususnya dalam masalah agama, akibatnya mereka (kelompok separatis) mencoba membuat kegaduhan yang mengatasnamakan agama Islam sebagai agama superior yang berhak menghegemoni dunia menurut cita-cita mereka, dengan mencap kelompok mereka sebagai wakil Tuhan yang otentik, dengan itu mampu mengatasi segala permasalahan sosial dan ekonomi. Konsep yang mereka tawarkan dengan jargon khilfah dianggap sebagai solusi tunggal dalam membangun wajah dunia yang adil dan majemuk.
Dapat dilihat ke belakang bahwa spektrum gerakan radikal (fundamentalisme) Islam di Indonesia memiliki akar sejarah panjang. Pada era setelah kemerdekaan yang pernah terwujud dalam bentuk gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII), yang melakukan pemberontakan di beberapa tempat di indonesia sejak tahun 1950-an hingga pertengahan tahun 1960-an. Sebagaimana dipaparkan Dijk, pengaruh gerakan Darul Islam yang dideklarasikan Kartosuwirjo pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat dengan cepat menyebar hingga ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, hingga Aceh.
Fundamentalisme Islam atau yang lebih dikenal dengan pemurnian Islam pada zaman dulu, telah menginvasi Indonesia dan mengubah wajah Indonesia menjadi semacam perang ideologi, diantara gerakan tersebut ada,
Ikhwanul Muslimin, didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir pada tahun 1928, hadir di Indonesia pada awalnya melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi Gerakan Tarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Hizbut Tahrir Indonesia, didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani pada tahun 1952 di Jerusalem Timur yang dikuasai Yordania
Wahabi, hadir di Jazirah Arab pada abad ke-18 yang merupakan sebuah sekte keras dan kaku pengikut Muhammad ibn 'Abdul Wahab. Ayahnya, 'Abdul Wahab adalah hakim 'Uyaynah pengikut madzab Ahmad ibn Hanbal. Kehadiran Wahabi di Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dengan dukungan dana besar dari Jama'ah Salafi (Wahabi). DDII mengirimkan mahasiswa untuk belajar ke Timur Tengah, sebagian dari mereka inilah yang kemudian menjadi agen-agen penyebaran ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Belakangan, dengan dukungan penuh dana Wahabi-Saudi pula, DDII mendirikan LIPIA dan kebanyakan alumninya kemudian menjadi agen Gerakan Tarbiyah dan Jama'ah Salafi di Indonesia.
Tiga organisasi yang secara khusus mendapat dukungan signifikan dari Arab Saudi akhir-akhir ini adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jamaah Islam wa al-Irsyad (JII) dan Persis.
Menjelang runtuhnya Orde Baru, Indonesia menyaksikan begitu banyak kelompok garis keras lokal. Beberapa diantara kelompok ini antara lain Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), PKS, Komite Penerapan Syari'ah Islam (KPPSI). Disinyalir bahwa Gerakan Islam fundamental yang beraliran Wahabi dimulai dari Gerakan Padri. Berawal dari perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif dengan Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke-19, ketika itu Makkah dan Madinah dikuasai Wahabi. Terpesona oleh gerakan Wahabi, sekembalinya ke Nusantara (Indonesia) Haji Miskin berusaha melakukan gerakan pemurnian sebagaimana dilakukan Wahabi, yang juga didukung oleh haji yang lain. Pemikiran dan gerakan mereka setali tiga uang dengan Wahabi. Aksi-aksi yang mereka lakukan mulai dari memvonis tarekat Syattariyah dan tasawuf secara umum sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi, di dalamnya banyak takhayul, bid'ah, dan khurafat yang harus diluruskan dan kalau perlu diperangi, maraknya saling mengkafirkan, adanya kewajiban memelihara jenggot dan didenda bagi yang mencukurnya, larangan memotong gigi, larangan bagi laki-laki yang lututnya terbuka, bagi perempuan menutup sekujur tubuhnya kecuali mata dan tangan, hukuman mati bagi yang meninggalkan sholat fardhu untuk ke dua kalinya, melegalkan perbudakan, penyerangan terhadap istana Pagaruyung tahun 1809, pembunuhan keluarga kerajaan, pembantaian massal anggota keluarga raja dan para pembantunya.












BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pancasila Sebagai Payung Bangsa
Ideologi sebagai sebuah pemikiran dan pandangan hidup negara dalam mencapai cita-cita bangsa yang bedaulat khususnya dalam konteks Indonesia, Pancasila merupakan ideologi yang sudah final karena Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan konsensus bersama yang lahir di tengah-tengah pergolakan ideologi lain yang telah membawa kehancuran. Pada saat terjadinya perang dunia II, ketika itu tiga ideologi besar terbukti tidak membawa kedamaian, baik itu antara sosialisme-komunisme dengan kapitalisme atau sosialisme dengan fasisme. Revolusi industri yang kala itu meledak tak lepas dari intervensi kaum kapitalis dengan memanfaatkan ilmuwan aliran positivis yang mendalangi terciptanya mesin-mesin mutakhir yang selanjutnya menggantikan tenaga manusia, implikasinya yakni menimbulkan aksi para buruh yang dominan beraliran anarkisme dan marxisme menolak hal itu dan menimbulkan konflik antara sosialisme-komunisme dan kapitalisme.
Pancasila sebagai ideologi sesungguhnya telah memiliki landasan keyakinan normatif dan preskriptif yang jelas dan visioner. Pokok-pokok moralitas dalam haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai berikut:
Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang memisahkan agama dan negara serta berpretensi menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut alam Pancasila diharapkan dapat melindungi dann mengembangkan kehidupan beragama, sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial.
Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas, yang mengarah pada persaudaraan dunia, dikembangkan melalui jalur ekternalisasi dan internalisasi. Ke luar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimiliki untuk secara bebas-aktif "ikut melaksanakan ketertiban dunia yany berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri.
Ketiga, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkaran pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan "bhinneka tunggal ika".
Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka "musyawarah mufakat".
Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu-yang terlembaga dalam pasar-dan peran manusia sebagai makhluk sosial-yang terlembaga dalam negara-juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Pancasila sebagai bentuk nilai dasar negara dikristalisasi oleh Soekarno dengan perkataan gotong royong. Yang dengan cara itulah bangsa Indonesia bisa mewujudkan kemerdekaannya dengan perjuangan bersama. Jadi Pancasila tidak berhak dimonopoli oleh kepentingan golongan, akan tetapi diimplementasikan dalam bentuk kerjasama yang nyata membangun negara dan dengan cara mufakat tanpa adanya dikotomi kelas, antara kapitalisme dan sosialisme juga politik identitas yang mengganggu stabilitas negara dengan mementingkan golongan sendiri dan memecah belah rasa persatuan dan kesatuan.
Aktualisasi Pancasila sebagai falsafah negara harus memenuhi dalam kriteria pandangan hidup bukan hanya sebagai falsafah negara. Pandangan hidup yang berupa tindakan kongkret, artinya Pancasila sebagai ideologi negara bukan dipandang sebagai yang tekstual akan tetapi secara kontekstual melegitimasikan nilai normatifnya sebagai nilai praksis yang mampu menunjukkan kapasitasnya sebagai ideologi yang integral.
Dalam konsep pandangan hidup (Weltanschauung), bahwa nilai-nilai pandangan/pendirian hidup yang digali dari berbagai kearifan suku bangsa, keagamaan, dan nilai-nilai kemanusiaan dipandang sebagai bantalan Weltanschauung berbagai suku bangsa dan golongan di negeri ini tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi mengandung kesatuan dan koherensi yang bisa menjadi dasar dan haluan bersama, maka Weltanschauung tersebut perlu dirumuskan secara sistemik dan rasional, menjadi Weltanschauung ilmiah (scientific worldview), yang sebangun dengan filsafat (Philosophische Grondslag). Selanjutnya, Pancasila sebagai scientific worldview itu menjadi ideologi negara.


3.2. Islam: Nafas dan Kredo Gerak Kehidupan
Sikap pasrah merupakan dasar dari agama Islam yang ditujukan atas ridla-Nya. Agama yang benar menegaskan bahwa hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya itu amat pribadi, baik dalam urusan pertobatan maupun pertanggungjawaban atas amal perbuatannya.Kecondongan manusia untuk mengarahkan diri kepada Pemberi hidup merupakan suatu nuktah yang menyatu dengan hakikat dasar manusia. Kecondongan itu terwujudkan dalam iman. Maka iman itu, dalam tinjauan manusiawinya adalah suatu bentuk mendasar pengertian manusia akan dirinya sendiri dan citra kreatif tentang diri sendiri itu. Dengan iman manusia tidak akan kehilangan pusat makna hidupnya, dan dengan iman pula manusia memperoleh keutuhan dirinya. Dengan iman manusia meningkatkan nilai individualitasnya melalui penajaman rasa tanggungjawab pribadi dan peningkatannya. Kemudian dengan rasa tanggungjawab yang tajam dan tinggi itu ia mewujudkan tugasnya memikul beban suci kehidupan bersama dalam silaturrahmi antara sesamanya.
Misi Islam yaitu memberikan salam, sehingga budaya Islam mempunyai karakteristik yang sangat khas, yaitu menggali seluruh potensi dunia, merangkai pengalaman masa lalu untuk melahirkan sebuah karya budaya yang memberikan nilai-nilai kesejahteraan, kedamaian bagi umat manusia dan alam. Itulah sebabnya, berulang kali kita sebutkan misi Islam yaitu untuk menyebarkan rahmat dan menempatkan diri sebagai lampu yang berbinar. Dalam hal meneguhkan nilai-nilai, cara mempersepsi dan bertindak sebagai dasar sebuah budaya harus dimulai dari sifat terbuka (open minded). Sehingga setiap pribadi muslim memiliki wawasan yang bersifat mondial dan universal.

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui. (Q.S al-Hujurat: 13)

Ayat tersebut memberi isyarat pemahaman bahwa setiap pribadi muslim adalah tipikal manusia yang memiliki wawasan universal. Mereka mampu berempati, mampu memahami keberadaan orang lain di luar dirinya dengan berbagai keberagaman budayanya. Mereka berpikir melewati batas-batas budayanya sendiri, sehingga tampak pada tipe seorang muslim yang berwawasan universal tersebut adalah sikapnya yang toleran dan menghargai pluralitas yang ada.

3.3. Semangat Pancasila dan Islam dalam Bernegara
Agama dan ideologi merupakan dua sisi mata uang yang saling berkait. Ideologi bisa disebut agama karena bisa memberikan jalan menuju yang-ideal bagi para penganutnya. Begitu juga sebaliknya, agama bukan saja sebagai proses spiritual semata tetapi juga memberikan gambaran yang-ideal dan mengatur kehidupan sosial, politik, maupun, budaya. Bagi Althuser ideologi sebenarnya bisa dijumpai dalam praktek kehidupan sehari-hari. Althuser menegaskan aktivitas-aktivitas ritual, upacara, adat, dan kebiasaan tertentu yang lazim kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari nyata-nyata memproduksi akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan kita pada suatu tatanan sosial yang mapan, sebuah tatanan yang ditandai oleh adanya kesenjangan status dan gap kekuasaan yang menonjol antara yang pusat dan peripheral, yang Maha dan yang hamba.
Ibn Taimiyah menegaskan: "Maka agama yang benar wajib punya Buku Petunjuk dan Pedang Penolong." Disini Ibn Taimiyah ingin menekankan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan oleh pedang menjadi sesuatu yang esensial dan mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama. Dengan ungkapan lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama; ia bukan suatu ekstensi dari agama.
Secara historis, kelima sila Pancasila merupakan perpaduan (sintesa) dari keragaman keyakinan, paham, dan harapan yang berkembang di negeri ini. Sila pertama merupakan rumusan sintesis dari segala aliran agama dan kepercayaan. Sila kedua merupakan rumusan sisntesis dari segala paham dan cita-cita sosial-kemanusiaan yang bersifat transnasional. Sila ketiga merupakan rumusan sintesis dari kebhinnekaan (aspirasi-identitas) kesukuan ke dalam kesatuan bangsa. Sila keempat merupakan rumusan sintesis dari segala paham mengenai kedaulatan. Sila kelima merupakan rumusan sintesis dari segala paham keadilan sosial-ekonomi. Pilar utama dari sila tersebut ditopang oleh trilogi ideologi arus utama: ideologi-ideologi berhaluan keagamaan, ideologi-ideologi berhaluan kebangsaan (nasionalisme), dan ideologi-ideologi berhaluan sosialiame. Ketiga haluan ideologis tersebut menemukan titik temu dalam tiga prinsip dasar: sosio-religius, sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi. Dalam konteks keindonesiaan, religiutas ditarik dalam nalar ontologis yaitu Bhineka Tunggal Ika (Pluralitas dalam unitas) yang berwatak eksistensi populatif (hubungan yang mengikat).
Dalam pembaruan isu sosial yang bersifat nasional, Anthony Giddens menawarkan apa yang disebutnya sebagai jalan ketiga, salah satunya yaitu konservatisme dan modernisas."Modernisasi dan konservatisme biasanya diperlakukan ssbagai dua hal yang bertentangan. Tetapi, kita harus menggunakan sarana modernitas untuk menghadapi kehidupan dalam dunia di luar tradisi dan di sisi lain dari alam, di mana terdapat kombinasi baru antara resiko dan tanggung jawab). Konservatisme dalam konteks ideologis memberikan suatu pemecahan masalah dengan tetap mengukuhkan Pancasila sebagai satu ideologi integral bangsa dan tetap memperhatikan aspek-aspek agama, budaya, dan sosial. Agama dijadikan sebagai prinsip moral individu untuk melakukan setiap tindakannya dalam berkehidupan. Dalam lingkup sosialnya individu tersebut mampu mentransformasikan setiap ajarannya sebagai penerang kehidupan bagi masyarakat. Dari segala pengetahuan yang sifatnya kontekstual maupun tekstual di luar agama, seorang muslim mengambil sisi positifnya sebagai ilmu yang diharapkan mampu memberikan pengetahuan yang seobyektif mungkin mengenai kondisi sosial sehingga pribadi muslim memiliki kemampuan berpikir luas, obyektif, dan kritis. Disinilah puncak pengetahuan pribadi muslim yang kosmopolitan dan diharapkan mampu survive dan challenge dalam mengahadapi era modernisasi atau globalisasi.
Dalam mengahadapi transisi zaman, sudut pandang yang masih tumpul menyebabkan perubahan bertahap dalam cara-cara berpikir menjadi tak dapat dipahami oleh para anggota kelompok yang hidup di dalam situasi yang stabil selama waktu adaptasi-adaptasi cara-cara berpikir terhadap permasalahan baru sedemikian lambat sehingga melampaui beberapa generasi. Dalam hal itu, satu generasi dan generasi yang sama dalam perjalanan hidupnya sendiri hampir tak dapat menyadari bahwa suatu perubahan sedang terjadi. Akhirnya pola pikir yang masih tradisional terkubur oleh perputaran zaman yang terlalu cepat sehingga apa yang disebut Fazlur Rahman sebagai miskin intelektual.
Dalam Indonesia sendiri, Pancasila merepresentasikan masyarakat Indonesia sebagai satu kesatuan masyarakat yang heterogen dan majemuk. Semangat persatuan dan kesatuan harus dipupuk oleh setiap individu dalam mengatasi paham golongan. Jadi kebenaran dalam penentuan keputusan harus bersifat universal yang disandarkan pada prinsip musyawarah. Pentingnya musyawarah sebagai konsep penyelesaian masalah yang adil akan tetapi harus dibarengi dengan mufakat. Bahwa musyawarah sebagai instrumen penting dalam arti penyelesaian masalah. Musyawarah disini memberikan konsensus bersama untuk menekankan sekecil mungkin kesalahan yang dibuat karena manusia adalah makhluk yang terbatas, tidak mengetahui secara pasti mana yang benar. Dalam Al-Qur'an dijelaskan pentingnya musyawarah, yang artinya:

Bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. (Q.S. Ali Imran 3: 159)

Akhirnya ideologi menjadi semacam senjata yang mampu mengikat umat islam dalam menjalin solidaritas yang terejewantahkan melalui gerakan keagamaan dan kultural.









BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Islam dan Pancasila memberikan penakanan khusus dalam hal kemanusiaan, penyelesaian masalah, dan wilayah privat (iman). Pancasila sebagai falsafah negara harus memberikan sebuah pandangan umum sehingga tafsir Pancasila mampu diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara. Islam sebagai agama memberikan tugas mulia bagi manusia menjadi khalifah Allah yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya terkait hubungan dengan Allah, hubungan dengan alam, dan hubungan dengan manusia. Perpaduan antara Pancasila dan Islam memberikan suatu kerangka berpikir yang luas, objektif, dan tetap kritis. Sehingga disebut sebagai pribadi Muslim yang kosmopolitan, akhirnya virus fundamsntalisme Islam mampu ditekan seminim mungkin. Yang paling penting Indonesia sebagai negara yang heterogen menanamkan sedini mungkin sifat egalitarian sebagai pribadi yang berwatak religius dan terutama survive dan challenge dalam mengahadapi arus modernitas.

4.2. Saran
Makalah ini tidak terlepas dari berbagai kesalahan bentuk penulisan, baik dari segi pengolahan redaksi kata atau minimnya literatur yang relevan. Semoga dari pembaca sebisa mungkin mampu memberikan kritik dan saran agar penulis lebih giat lagi dalam belajar dan mampu berpikir seobjektif mungkin.




DAFTAR PUSTAKA

Aksa. 2017. Gerakan Islam Transnasional: Sebuah Nomenklatur, Sejarah dan Pengaruhnya di Indonesia. YUPA: Historical Studies Journal, Tahun Pertama, Nomor 1.
Giddens, A. 1999. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hartanto, D. R. 2016. Mengkaji Relasi Agama dan Ideologi. Academic Journal of Islamic Studies. Vol.1 No.1. Dinika
Heywood, A. 2016. Ideologi Politik: Sebuah Pengantar. Edisi Ke-5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Latif, Y. 2015. Revolusi Pancasila. Jakarta: Mizan.
Maarif, A. S. 2017. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Edisi Baru: Cetakan Ke-1. Bandung: Mizan Pustaka.
Maarif, A. S. (ed). 2012. Menuju Persatuan Umat: Pandangan Intelektual Muslim Indonesia. Bandung: Mizan.
Madjid, N. 1999. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Cetakan Ke-4. Jakarta: Paramadina.
Mannheim, K. 1991. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Nuswantoro. 2001. Daniel Bell: Matinya Ideologi. Magelang: Yayasan IndonesiaTera.
Mubarak, M. Z. 2007. Genealogi Islam Radikal Di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Wahid, A. (ed). 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika-The Wahid Institute-The Maarif Institute.
Share: